Pekanbaru  (ANTARA News) - Pakar kelautan meragukan mamalia laut yang ditemukan mati di perairan Kota Dumai, Provinsi Riau, adalah satwa langka dugong (duyung) karena terdapat perbedaan dari segi morfologinya.

"Menurut saya itu jelas bukan spesies dugong. Dugaan saya itu Orchaella sp. atau pesut. Karena pesut ada dua macam, pertama yang hidup di laut tepi dan muara sungai. Yang kedua pesut yang hidup di air tawar seperti sungai dan danau, seperti yang di Kalimantan Timur," kata pakar kelautan, Drh. Dwi Restu Seta ketika dihubungi Antara di Pekanbaru, Minggu.

Dwi Restu Seta juga menjabat Direktur PT Wersut Seguni Indonesia (WSI), lembaga konservasi swasta yang sejak 1999 mendapat izin penangkaran mamalia laut khususnya lumba-lumba.

Dia menyampaikan pendapatnya tentang kasus kematian dugong di Dumai, Riau, setelah melihat foto bangkai yang difoto oleh pewarta foto Antara dan video amatir kiriman warga.

Ia mengatakan bentuk fisik atau morfologi mamalia yang ditemukan mati di Dumai bukan merupakan fisik dugong. Dari foto itu, terlihat bangkainya lebih bulat seperti pesut (sejenis lumba-lumba bermoncong pendek), sedangkan wajahnya, dugong lebih persegi menyerupai sapi tanpa tanduk. Perbedaan akan bisa lebih diketahui, lanjutnya, apabila melihat perbedaan sirip punggungnya.

"Makanannya juga berbeda karena pesut makan ikan, dugong makan rumput seperti rumput laut," katanya. 

Pesut yang diduga mati di Dumai itu banyak tersebar dari seputaran pantai di India sampai dengan seluruh Indonesia. Mamalia tersebut masuk kategori apendiks 2, artinya satwa dalam pengawasan seperti lumba-lumba. Sedangkan pesut air tawar di Kalimantan masuk kategori apendiks 1, dalam kondisi sudah gawat dan tinggal tunggu punah jika tidak ditolong. 

"Di Selat Malaka justru ada (pesut) karena banyak sungai besar yang bermuara ke situ," katanya.

Perlu Investigasi

Drh. Dwi Restu Seta menambahkan, instansi terkait seperti Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau maupun dinas perikanan harus melakukan investigasi mengenai penyebab kematian mamalia air di Dumai tersebut. 

Perlu ada pembedahan bangkai, nekropsi dengan memeriksa kondisi organ dalam hingga penelitian mikro laboratorium untuk mengetahui penyebabnya.

Kematian bisa banyak sebabnya, tapi biasanya kematian mamalia laut tepi yang abnormal adalah akibat pencemaran di seputaran sungai dan pantai, biasanya tumpahan minyak. 

"Jadi kalau ini kematian karena wabah tertentu bisa ditanggulangi secepatnya," ujarnya.

Cairan Kuning

Sementara itu, warga Dumai mulai merasa aneh karena bangkai mamalia laut itu mulai berubah warna dan mengeluarkan cairan kuning. Pengelola Pantai Pulai Bungkuk Indah, Azhari (36), di lokasi bangkai pesut itu menyatakan masih ada warga setempat menduga satwa itu mati akibat keracunan.

"Badannya tidak ada bekas luka. Kalau terkena jaring dan baling-baling kapal, seharusnya ada luka. Jadi warga menduga ini karena keracunan," kata Azhari ketika dikonfirmasi Antara dari Pekanbaru, Minggu.

Ia mengatakan sampai kini tidak ada instansi terkait yang datang ke lokasi itu untuk memeriksa penyebab kematian satwa itu. Padahal, foto-foto dan video penemuan bangkai pesut itu sudah ramai di media sosial sejak ditemukan pada Kamis lalu (10/1).

Mengetahui penyebab kematian satwa itu menjadi penting untuk warga sekitar karena pesisir Dumai merupakan kawasan industri yang banyak terdapat pabrik pengolahan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) dan turunannya.

"Kecurigaan warga karena limbah, karena lingkungan Dumai di mana-mana industri CPO," kata Azhari.


Baca juga: Dalam sepekan dua dugong ditemukan mati di Dumai, Riau
Baca juga: Indonesia dapat dana hibah Rp11 miliar untuk pelestarian dugong
 

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019