Kita harus tahu benar isunya apa. Dan diingatkan baik-baik. Selebihnya mereka yang tahu bagaimana 'handle' masalah mereka.
Beijing (ANTARA News) - Pengusaha nasional Anindya Bakrie belum melihat dampak yang signifikan isu Uighur terhadap hubungan Indonesia dengan China dari sisi ekonomi dan bisnis.

"Justru kalau menurut saya, hubungan (Indonesia-China) mesti diperkuat lagi dengan mengatakan, eh kita justru di Indonesia mengajarkan (toleransi). Kalau kita mau begitu, bisa-bisa saja, tapi itu tidak kita sepakati," katanya kepada Antara di Beijing, Minggu (13/1).

Bos Visi Media Asia (VIVA) yang membawahi ANTV, TVOne, dan portal berita vivanews.co.id itu menilai wajar isu penindasan yang dilakukan pemerintah China terhadap etnis minoritas Uighur tersebut menyita perhatian masyarakat Indonesia.

"Apakah itu jadi isu yang mengena bagi orang Indonesia? Ya itu pasti. Pastilah karena Indonesia punya populasi muslim yang hampir sama dengan seluruh muslim di Timteng kok," katanya ditemui seusai menjadi pembicara dalam Forum Tsinghua PCBSF tersebut.

Meskipun demikian, pengusaha muda yang juga Komisaris Utama Bakrie Brothers Group itu mengingatkan masyarakat Indonesia agar tidak serta-merta membuat kesimpulan sendiri atas isu yang juga menyita perhatian dunia itu.

"Kita harus tahu benar isunya apa. Dan diingatkan baik-baik. Selebihnya mereka yang tahu bagaimana 'handle' masalah mereka. Saya rasa setiap negara pasti punya masalah yang lebih kompleks dari yang kita tahu setiap hari," ujarnya.

Terkait hubungan bisnis Indonesia-China, putra sulung Aburizal Bakrie itu melihat sudah sesuai dengan empat hal yang melandasi kemitraan, yaitu investasi barang dan teknologi, China membantu membantu program pendidikan masyarakat di Indonesia, China memastikan kejelasan mitranya di Indonesia, dan usaha yang dijalankan harus ramah lingkungan.

"Dengan negara lain bukan berarti kita ga mau, tapi zamannya yang tidak memungkinkan. Kita ke Eropa. Eropa lagi sibuk. 'Ngurusi' Brexit (keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa) aja pusing," katanya.

Menurut dia, sistem kepemimpinan yang keberlanjutan itu sangat dibutuhkan oleh para pengusaha untuk menjamin kepastian usahanya.

"Seperti perusahaan saja. Kenapa perusahaan yang ganti-ganti CEO kadang-kadang lebih sulit untuk berkembang? Karena arah kebijakannya berganti-ganti, kepemimpinan terhadap anak buah berubah-ubah. Di China jelas itu (kepemimpinannya)," ujar Anin yang lulusan Stanford Graduate School of Business Stanford, California, Amerika Serikat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap China melakukan pelanggaran HAM dalam memperlakukan etnis minoritas Uighur dengan mendirikan kamp-kamp vokasi di Xinjiang.

Namun China membantah bahwa kamp itu dimaksudkan untuk memberikan keterampilan kepada etnis minoritas agar siap kerja dan bisa bangkit dari kemiskinan. 

Baca juga: Yusril desak Komisaris Tinggi PBB selidiki pelanggaran HAM di Xinjiang

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019