Jakarta, 17/1 (Antara) - Debat putaran pertama dalam Pemilihan Presiden 2019 yang diikuti oleh pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pada Kamis (17/1) malam ini bertema hukum, hak asasi manusia, korupsi dan terorisme.

Untuk itu sejumlah data survei indeks terkait dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, korupsi dan terorisme patut menjadi acuan.

Berikut ini adalah salah satu data index negara hukum yang dibuat oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR) bekerjasama dengan Tahir Foundation.

Index Negara Hukum Indonesia (INHI) dibuat menggunakan metode survey yang dilakukan di 20 provinsi dan dipilih berdasarkan kriteria keterwakilan regional dan ketersediaan ahli.

Adapun 20 provinsi yang dipilih berdasarkan  kriteria tersebut adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bali, NTT, NTB, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Maluku dan Papua.

Responden dalam survey INHI adalah 120 orang ahli yang tersebar di 20 provinsi, dan terdiri dari akademisi, praktisi hukum, dan aktivis kemasyarakatan, yang harus memenuhi kriteria ahli sesuai yang sudah ditentukan oleh INHI.

Untuk skor yang diperoleh prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum sepanjang tahun 2017 adalah 5,97. Skor ini meningkat dibandingkan dengan skor di tahun 2016 yang hanya 5,62 poin.   

Dengan sendirinya, indeks prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum tahun 2017 juga meningkat sebesar 0,08 poin menjadi 1,49 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 1,41 poin.

Di tingkat provinsi wilayah propinsi yang mendapatkan skor tertinggi adalah Provinsi Sumatera Barat dengan skor 7,45. Sementara provinsi yang memiliki skor terendah adalah Nusa Tenggara Timur.
   
Skor indikator tindakan perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum juga mengalami kenaikan 2,3 poin yaitu 6,26 dibandingkan tahun sebelumnya 6,03.

Di antara dua sumber data yang digunakan (survei ahli dan dokumen), skor tertinggi berada pada penilaian dokumen dengan skor 6,36 sedangkan skor indikator berdasarkan persepsi ahli sebesar 6,15.

Berdasarkan survei ahli, ternyata sebagian besar responden cukup puas dengan kinerja pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintah absolut.  

Meskipun 40 persen responden menyatakan cukup puas dengan pelaksanaan bidang politik luar negeri, pertahanan, dan moneter serta fiskal (lebih dari 40 persen responden menjawab setuju), tetapi 60 persen ahli berpendapat negatif untuk urusan pemerintahan absolut di bidang penegakan hukum, agama, dan keamanan.

Dari tiga bidang yang dipersepsikan negatif oleh ahli, bidang yang paling mendapat sorotan adalah bidang penegakan hukum dan keamanan. Dalam bidang keamanan misalnya, hanya 7,5 persen ahli yang menjawab positif.

Pada sisi lain, terkait dengan urusan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, tata ruang, perumahan pemukiman, ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, serta sosial) sebagian besar responden menjawab negatif (skor di bawah  6). Hanya di bidang pendidikan yang dianggap relatif baik (nilai skor di atas 6).
 
Ketaatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap peraturan dan perundang-undangan dinilai INHI mengkhawatirkan. Selain itu, sebagian besar ahli berpandangan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga tidak berkomitmen untuk menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Nilai yang didapat pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak jauh berbeda. Nilai indeks pemerintah pusat sebesar 6,41 sedangkan nilai pemerintah daerah 6,42.

Dalam hal proses legislasi dan budgeting, kinerja pemerintah daerah dinilai lebih baik dari pemerintah pusat meskipun nilai pemerintah daerah lebih baik dari pemerintah pusat, namun memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu 5,85 untuk pemerintah pusat, sementara 6,07 untuk pemerintah daerah.

Sementara untuk pengisian pimpinan jabatan publik yang didasarkan pada hukum, pemerintah pusat mendapat nilai relatif baik  6,05.  

Apabila dilihat lebih dalam, alasan utama pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak menjalankan peraturan perundang-undangan adalah rendahnya pengawasan yang efektif.

Dampak dari lemahnya pengawasan terhadap pemerintah baik pusat maupun daerah, terjadi beberapa tindakan yang dinilai bertentangan dengan hukum, seperti korupsi dan membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan peraturan.
   
Secara umum skor indikator pengawasan yang efektif mengalami kenaikan sebesar 0,46 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang memiliki poin 5,23.

Ada empat subindikator yang diukur untuk indikator pengawasan yang efektif yaitu; pengawasan oleh parlemen, pengawasan lembaga peradilan, pengawasan internal, dan pengawasan dari komisi negara independen.

Dari keempat subindikator tersebut, terdapat dua subindikator yang mengalami kenaikan, yaitu pengawasan parlemen dan pengawasan komisi negara independen.

Sedangkan dua indikator lainnya adalah pengawasan oleh lembaga peradilan dan pengawasan oleh internal pemerintah mengalami penurunan.

Berdasarkan survei ahli yang dilakukan, kinerja legislatif di tingkat  nasional  (DPR)dan daerah (DPRD) terkait semua pengunaan hak yang dimiliki oleh lembaga legislatif tersebut, baik hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, sepanjang tahun 2017 sangat mengecewakan karena nilai indeks penggunaan hak tersebut di bawah angka 5.

Dari tiga fungsi tersebut, nilai paling rendah berada hak angket yang dimiliki DPRD 4,25. Sementara hak angket DPR mendapat nilai 4,85.

Pengawasan oleh parlemen mengukur sejauh mana kinerja lembaga legislatif dalam menggunakan haknya yaitu; hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Selain itu, subindikator ini juga mengukur sejauh mana efektifitas rapat kerja, rapat dengar pendapat (RDP), dan rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang dilakukan oleh legislatif (pusat dan daerah).
   
Sedangkan pengawasan oleh lembaga peradilan meninjau sejauh mana kinerja Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya menguji undang-undang dan Mahkamah Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan kinerja pengadilan tata usaha negara sebagai alat koreksi terhadap tindakan pemerintah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Subindikator pengawasan yang ketiga adalah pengawasan internal pemerintah. Subindikator ini ingin mengetahui sejauh mana efektifitas kinerja dari lembaga pengawasan internal yang dimiliki oleh pemerintah.

Subindikator terakhir adalah pengawasan komisi negara independen. Keberadaan komisi negara independen yang banyak dibentuk oleh negara ini bertujuan untuk memastikan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
   
Sebagai "check and balance" pemerintah dalam menjalankan hukum, terdapat pengawasan yang dilakukan oleh yudikatif, dalam hal ini oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara.  

Berdasarkan ketiga bentuk check and balance lembaga yudisial tersebut, pengawasan oleh Mahkamah Konstitusi dianggap paling baik yaitu 7,50. Setelah itu secara berturut-turut pengawasan oleh PTUN  dengan skor 6,85 dan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang mendapatkan 6,45.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019