Jakarta (ANTARA News) - Bersyukur bangsa Indonesia memiliki dua pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 17 April 2019, Joko Widodo - Maruf Amin dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Kedua pasangan capres dan cawapres itu memiliki visi yang tegas dalam bidang hukum.
   
Debat perdana dalam kampanye menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis malam dan dipancarluaskan secara langsung melalui sejumlah stasiun televisi nasional, menggambarkan visi yang jelas dan terang benderang dari kedua pasangan tersebut.
   
Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 01, Joko Widodo -Ma'ruf Amin, membawa visi "Indonesia Maju" dan pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mengusung visi "Indonesia Menang".
   
Joko Widodo selaku calon presiden petahana, saat diberi kesempatan pertama menyampaikan visi dalam debat bertema "Hukum dan HAM, Terorisme, dan Korupsi" oleh moderator Ira Koesno antara lain menegaskan bahwa negara harus menegakkan supremasi hukum melalui reformasi kelembagaan dan penguatan hukum yang baik.
   
Dua kali, Jokowi - panggilan akrabnya - menyebutkan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang tegak dengan memperbaiki sistem pemerintahan dan penguatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), mendorong sinergi KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian RI.
   
Sementara Prabowo yang untuk kedua kalinya mencalonkan diri sebagai capres sejak Pemilu 2014, saat diberi kesempatan oleh moderator Imam Priyono, menyatakan bahwa institusi penegak hukum, hakim, jaksa, dan polisi harus unggul, baik dan tidak boleh diragukan integritasnya, dengan menyelesaikan dari muara masalahnya yakni harus cukup uang untuk menjamin kualitas hidup sehingga keputusan tidak tergoda oleh godaan-godaan untuk menyogok mereka.
   
Lembaga hukum harus menguasai sumber-sumber ekonomi, kita yakin dengan lembaga yang bersih, kepastian hukum, hukum untuk semua, bukan untuk orang-orang kuat saja. Sandiaga menambahkan hukum tidak tebang pilih, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hukum harus memenuhi rasa keadilan untuk semua.
   
Visi bidang hukum dari kedua pasangan capres dan cawapres itu sangat sejalan dengan konstitusi UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat).
   
Pemahaman sebagaimana disebutkan dalam konstitusi itu semakin memperkuat bahwa negara ini bukanlah berdasarkan kekuasaan (machstaat).
   
Negara hukum Indonesia bukan sekadar kerangka bangunan formal melainkan manifestasi dari nilai-nilai dan norma-norma, seperti kebersamaan, kesetaraan, keseimbangan, keadilan yang sepakati dianut bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur itu berasal dari berbagai sumber seperti, agama, budaya, sosial, serta pengalaman hidup bangsa Indonesia.
   
Negara hukum juga bukan berarti bahwa negara yang berlandaskan atas sembarang hukum, bukan hukum yang dibuat hanya untuk dan demi kekuasaan, atau mengarah kepada kekuasaan absolut, anarki, monarki, atau bahkan otoriter.
   
Republik Indonesia telah pernah mengalami praktik hukum menyimpang dan tidak sesuai konstitusi, tatkala pada orde terdahulu, hukum dimainkan untuk melanggengkan kekuasaan.
   
Seiring dengan kedatangan era reformasi sejak 1998 yang antara lain mengagendakan supremasi hukum telah mengubah wajah hukum Indonesia menjadi memiliki kepastian hukum.
   
Sejak reformasi, bangsa ini semakin kuat memiliki landasan sebagai negara hukum dengan beragam karakteristik seperti adanya supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, transparansi dan kontrol sosial.
   
Kedua pasangan capres dan cawapres juga ditanyakan dan mengomentari soal tumpang tindih peraturan hukum. Masalah tumpang tindih peraturan hukum pernah menjadi materi utama dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara IV di Jember, Jawa Timur, pada November 2017.
   
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD selaku Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Mahfud MD mengungkapkan tiga hal yang menjadi penyebab persoalan tumpang tindih atau kekacauan hukum di Indonesia sehingga sering muncul gugatan hukum di Mahkamah Konstitusi.
   
Alasan yang pertama adalah karena pembuat undang-undang minim pengalaman dan kurang atau bahkan tidak profesional. Banyak undang-undang yang kemudian diatur lebih lanjut dengan peraturan-peraturan di bawahnya dan mengacu pada pasal-pasal selanjutnya. Alasan kedua, karena ada permainan politik seperti tukar menukar materi dalam pembuatan regulasi. Alasan ketiga, ada suap dalam pembuatan undang-undang.
   
Mahfud semasa menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, menyebutkan, banyak isi undang-undang yang dibatalkan gara-gara suap. Ada delapan orang narapidana yang terbukti melakukan jual beli pasal, dan mereka tertangkap lalu dipenjara.
   
Tiga hal tersebut bukan hanya urusan Kementerian Hukum dan HAM, namun juga banyak pihak lainnya sehingga mereka harus ikut turun tangan dalam menyelesaikan persoalan hukum ini.
   
Mahfud juga menilai produk regulasi di Indonesia belum tertata dengan baik sehingga terlalu banyak dan tidak efisien. Regulasi di Indonesia terlalu gemuk sehingga tumpang tindih dan menimbulkan benturan, ini jadi mempersulit upaya percepatan pembangunan dan ekonomi.
   
Satu kementerian atau lembaga kadang saling melempar tanggung jawab atau bahkan berebut tanggung jawab, akibat regulasi yang tumpang tindih ini yang akibatnya menyulitkan pemerintah dan masyarakat.
   
Para pakar hukum tata negara dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara mencatat setidaknya ada 62.000 regulasi di Indonesia, sehingga Indonesia tergolong sebagai negara dengan obesitas regulasi.
   
Sepanjang tahun 2000 hingga 2015, ada sekitar 12.500 regulasi yang tercipta baik pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
   
Beruntung Jokowi pada debat itu menyatakan akan membentuk Pusat Legislasi Nasional untuk menyelaraskan berbagai aturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih. Sebagai kepala negara, dia akan menggabungkan fungsi legislasi baik di BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dirjen, peraturan perundangan dan fungsi legislasi di kementerian.

Baca juga: Jokowi ingin bentuk Pusat Legislasi Nasional
   
Sementara Prabowo akan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, dengan mendapatkan masukan dari berbagai pakar hukum, sehingga menghasilkan peraturan hukum yang baik dan tertata.

Baca juga: Prabowo-Sandi ingin sinkronisasi aturan hukum
   
Negara hukum memang membutuhkan persyaratan dasar yakni supremasi hukum (supremacy of law), kesamaan di dalam hukum (equality before the law), dan penegakan hak asasi manusia (human rights).
   
Perdebatan dalam masa kampanye ini mengingatkan kembali debat Jokowi dan Prabowo pada 9 Juni 2014 ketika untuk pertama kalinya mereka ikut dalam kontestasi Pemilu tahun itu. Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla, sedangkan Prabowo menggandeng Hatta Rajasa.
   
Inti dari yang mereka sampaikan lima tahun tersebut masih sama dengan saat ini. Semua menggambarkan bahwa kedua tokoh bangsa ini memiliki pandangan yang konsisten, tak mudah berubah termakan zaman.
   
Sebagai calon kepala negara untuk periode lima tahun ke depan, siapapun yang akan memenangkan pemilihan, tampaknya harus bisa mewujudkan cita-cita reformasi bagi penegakan hukum agar wajah hukum di Indonesia tidak lagi suram atau buram.
   
Komitmen mereka bagi penegakan hukum yang kuat dapat mengarahkan dan menjadikan negara ini juga semakin kukuh dalam penghormatan bagi sendi-sendi hukum di Indonesia.
   
Jangan ada lagi yang mempermainkan hukum atau bahkan memperdagangkan hukum dengan maksud-maksud untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
   
Rakyat Indonesia ini sangat mendambakan penegakan hukum yang konsisten.
   
Sindiran dari seorang filsuf dari Yunani, Plato, bahwa hukum adalah jaring laba-laba, yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat, jangan sampai terus terjadi di bumi tercinta ini.
   
Kembalikan lagi Indonesia benar-benar menjadi negara hukum.
   
Apalagi visi dan misi pemerintah saat ini juga sangat menghormati hukum. Visi dari Kementerian Hukum dan HAM adalah masyarakat memperoleh kepastian hukum. Sementara misinya mewujudkan peraturan perundang-undangan, pelayanan hukum, dan penegakan hukum, yang berkualitas; mewujudkan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM; mewujudkan layanan manajemen administrasi Kementerian Hukum dan HAM; serta mewujudkan aparatur Kementerian Hukum dan HAM  yang profesional dan berintegritas.

 

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019