Oleh Oscar Motuloh Jakarta (ANTARA News) - Kekerasan junta militer di Myanmar menambah panjang kidung kematian masyarakat tak berdosa di negeri seribu pagoda itu. Pilihan penguasa Myanmar menggunakan senjata api untuk menghalau pengunjuk rasa yang diprakarsai para biksu muda tampaknya menjadi momentum menumbuhkan kembali semangat perlawanan massa prodemokrasi sejak junta militer berkuasa di negeri itu pada 1962. Sejak pemerintahan militer pimpinan Jenderal Senior Than Shwe (74) memutuskan kenaikan BBM pada 13 Agustus 2007, gelombang unjuk rasa besar-besaran dari para aktivis gerakan pro demokrasi terjadi mulai 19 Agustus 2007, tetapi pemerintah kian represif menahan mereka. Meskipun tekanan internasional terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan junta militer Myanwar telah disampaikan, seperti dari Sidang Umum ke-28 Majelis Parlemen ASEAN di Malaysia 18-24 Agustus 2007 dan Komisi HAM PBB, tetapi krisis politik di negeri berpenduduk 46 juta itu makin memburuk. Dalam sebelas hari terakhir bahkan kian banyak korban berguguran ditembaki serdadu-serdadu Myanmar. Setelah menyisir, menyerbu dan menembaki sejumlah biksu di biara-biara kota Yangoon, ratusan serdadu juga merangsek ke Pagoda Sule, peribadatan penting kaum Buddha Myanmar karena ditengarai menjadi tempat pelarian sejumlah biksu-biksu pembangkang. Belasan korban gugur dan dua ratusan cedera dalam kekerasan berdarah tersebut. Kenji Nagai, 52 tahun, yang sehari-harinya bekerja sebagai pewarta foto dan jurnalis video kontrakan di APF Jepang tercatat sebagai salah satu yang gugur akibat kesewenangan pemerintah otoriter Myanmar tersebut. Tragedi berdarah di sejumlah biara dan pagoda keramat tersebut menambah panjang deret ukur para wartawan dalam mengemban tugas jurnalistiknya. Foto saat-saat Kenji menghadapi sakratul maut, Jumat (28/9), terhidang dalam halaman utama koran-koran di dunia. Foto dramatis tersebut adalah imaji hasil bidikan seorang fotografer lepas yang memperlihatkan bagaimana Kenji yang tergeletak cedera di jalan raya masih berupaya mengarahkan kamera videonya ke arah massa yang sedang berlarian menghindari peluru-peluru tajam yang menyembur dari serdadu militer yang panik. Di sisi kanan Kenji yang mengenakan kemeja kotak-kotak biru lengan pendek dan celana pendek, terlihat seorang serdadu Myanmar mengenakan sandal hitam tengah berlari mengejar para demonstran sambil mengarahkan moncong senjata serbu M-16 ke arah tubuhnya. Sedangkan foto lainnya memperlihatkan tubuh kenji sudah tergeletak tak berdaya, tangannya kaku menyentuh aspal. Beberapa saat kemudian pihak Kedubes Jepang di Myanmar menyatakan salah satu jenazah yang ditemukan dari tragedi tersebut adalah Kenji Nagai. Saksi mata mengatakan bahwa Kenji ditembak dari jarak dekat oleh militer Myanmar yang memang sangat alergi dengan kehadiran wartawan, apalagi pewarta asing yang melakukan liputan di wilayah kekuasaan mereka. Wartawan paruh baya tersebut empat hari yang lalu bergabung dengan massa demonstran yang menuntut perubahan politik di Myanmar yang dikuasai junta militer yang arogan. Kenji masuk ke bekas ibukota Myanmar tersebut sebagai turis, untuk menghindari pemeriksaan berlebihan junta militer yang sangat ketat membatasi keberadaan wartawan asing dalam wilayah mereka. Kerusuhan terbesar yang tercatat dalam dua dekade belakangan ini membawa eskalasi baru dalam peta politik Myanmar, termasuk maraknya kegiatan liputan visual yang merepresentasikan kondisi politik di negeri yang sangat kuat dominasi militernya. Foto berita, apalagi yang menyangkut militer Myanmar di dalamnya praktis menjadi kegiatan yang sangat sulit dilakukan. Keterkekangan medan liputan fotografi jurnalistik yang berlangsung di tanah Myanmar pada dasarnya hanya dapat disaingi oleh tindak tanduk rezim militer Korea Utara. Melakukan tugas foto jurnalistik di Myanmar praktis bisa dikatakan terlarang. Bahkan untuk melakukan pemotretan di kawasan Pagan, kawasan situs arkeologi yang terletak di propinsi Mandalay, yang terletak di jantung wilayah Myanmar. Pemerintah junta bahkan menampik upaya UNESCO untuk mempromosikan kompleks pagoda Pagan, peninggalan kerajaan Burma yang pertama sebagai situs warisan budaya dunia. Junta militer yang lebih senang membangun lapangan golf, dan bahkan menara pengawas setinggi 61 meter, di kawasan bersejarah dan pusat kejayaaan Kerajaan Dhrawati dengan rajanya yang sangat terkenal Anawhrata (1044-1077) itu. Sepanjang pekan ketiga bulan September ini, Yangoon tercatat sebagai kota berikutnya yang tercatat sebagai tanah kematian wartawan yang tengah melaksanakan amanat tugas jurnalistiknya. Menurut catatan CPJ (Committee to Protect Journalists), lembaga perlindungan pers independen yang didirikan di Washington DC pada 1981, pada periode Januari 1992-28 Juni 2007 telah 636 wartawan gugur berkaitan dengan tugasnya. Lembaga tersebut merinci 72,7% di antaranya tewas karena pembunuhan terencana yang dilakukan berkaitan dengan tugas jurnalistiknya, disusul liputan perang dan kekerasan 27,2%, sedangkan mesin pembunuh yang paling sering digunakan adalah senjata api ringan (51%), senjata api berat (15,6%), ledakan (9,4%), pisau (7,1%). Penganiayaan dengan tangan kosong mengakibatkan 3,3% dari angka kematian tersebut. Sementara wartawan media cetak tetap tercatat sebagai korban tertinggi (58,2%), disusul TV (25,8%), radio dan internet (19%). Masih menurut catatan CPJ, dalam empat tahun terakhir ini, tercatat 57 jiwa jurnalis yang tewas (2004), 48 pewarta (2005), 56 pewarta (2006) dan hingga 28 Juni 2007, sudah tercatat 24 jiwa wartawan yang gugur dalam melaksanakan tugasnya, belum termasuk mendiang Kenji yang gugur kemarin siang. Gugurnya Kenji, demi mewartakan kesaksian visual dari suatu pengkhianatan terhadap demokrasi, sesungguhnya tidak sekadar menambah panjang catatan statistik wartawan yang tewas di medan liputan, namun juga mendudukkan profesi jurnalistik selalu dalam bahaya yang seolah-olah tak terelakkan dalam fungsi sosialnya sebagai pengawas dalam penyelenggaraan kenegaraan bagaimanapun tingkat kebobrokannya. Belum lagi kondisi yang sangat ironis perihal eksistensi profesi pewarta foto dunia ketiga yang secara umum memang belum mendapatkan proteksi (asuransi dan bentuk perlindungan jiwa lainnya) yang memadai dalam menjalankan tugasnya. Entah yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga pers independen ataupun aliansi-aliansi organisasi pers. Kematian Kenji barangkali hanya menjadi penghias surat kabar atau situs-situs berita, dia mungkin hanya sekadar "stopper" yang barangkali juga hanya menimbulkan simpati jangka pendek dari para juragan pers yang bersiap melakukan "soundbyte" seraya berakting membicarakan risiko liputan jurnalistik, di hadapan reporter-reporter televisi atas nama keagungan peliputan jurnalistik. Pada suatu hari di penjara China, seorang pemuda biasa, bertubuh kurus, dengan pandangan teduh, bernama Nguyen That Thanh menulis sepotong memori (dicuplik dari buku fotografi jurnalistik "Requiem", Random House, New York, disunting dua fotografer kawakan Horst Faas dan Tim Page, yang dibuat untuk mengenang 135 pewarta foto dari 10 negara yang gugur dalam perang Indo China) seperti ini: "Entah di ketinggian, atau nun jauh di sana, Entah kaisar, atau raja Kamu adalah sebentuk tonggak batu kecil, Yang tegak berdiri di tepi jalan raya, Bagi orang-orang pelintas jalan Kamu menunjukkan arah yang benar, Menghindarkan orang tersesat. Kamu menjelaskan kepada mereka jarak Kemana mereka akan mengarah, PelayananMu bukanlah perkara kecil, Dan rakyat pasti akan selalu mengenangmu". Dunia kemudian mengenal pemuda itu sebagai Ho Chi Minh. (*)

Oleh
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007