Oleh Dyah Sulistyorini *)

Berapa persentase kepuasan pelanggan? Berapa persentase Return On Equity (ROE) yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan modal ekuitas yang sudah diinvestasikan? Keduanya hanya contoh kecil parameter data untuk mengukur kinerja perusahaan.

Sesungguhnya banyak contoh perusahaan dunia yang mati-matian mempertahankan kinerjanya tatkala berjibaku menghadapi tantangan perubahan lingkungan. Mungkin perusahaan di Tanah Air dapat belajar dari praktek terbaiknya.

Kisah sukses, heroik, mungkin juga kisah tragis menghadapi dinamika perubahan internal dan eksternal perusahaan telah diteliti dan didokumentasikan sebagai materi pembelajaran.

Memang benar kasus di dunia nyata jauh lebih cadas dibanding yang didiskusikan di ruang kelas, namun setidaknya melalui proses pembelajaran akan terlupakan konsep "hanya satu jawaban" untuk suatu masalah.

Hal ini terkait dengan kompleksitas masalah yang diibaratkan sebagai spektrum warna yang kaya, yang menantang untuk diekplorasi.

Setiap kasus memiliki implikasi yang banyak sementara fakta terus bertambah dari waktu ke waktu. Padahal manajer-manajer dituntut untuk menguasai masalah dengan baik, memiliki cukup alat analisis, persisten, dan sigap dalam mengambil keputusan.

Semuanya bermuara pada upaya mencapai visi misi perusahaan yang dinilai dengan sebuah kata sederhana namun sarat makna yakni kinerja. Kinerja perusahaan membawa definisi ikutan tentang kualitas dan kuantitas pencapaian tugas-tugas perusahaan.

Telah jamak diketahui bahwa indikator ukuran keberhasilan perusahaan sangat beragam. Biasanya indikator kinerja dikaitkan dengan keuangan dan non keuangan. Indikator kinerja keuangan lazimnya fokus pada pendapatan dan laba bersih. Sementara indikator kinerja non keuangan fokus pada hubungan pelanggan dan karyawan.

Dewasa ini ketika bisnis online sudah makin banyak, sudah pasti makin komplek pula pengukuran kinerja misalnya dengan menggunakan Metrik Pemasaran Digital, Metrik Pemasaran Email, Metrik Media Sosial, atau memakai teknik Search Engine Optimization (SEO) yang menjadi salah satu taktik pemasaran yang handal.

Tentu setiap bisnis ingin agar kinerjanya baik, unggul atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah business excellence. Kinerja ekselen tersebut menggambarkan bahwa kinerja yang dicapai lebih baik atau dapat mengungguli organisasi sejenisnya. Memang benar bahawa kehadiran kompetitor sebagai pembanding menjadikan ukuran kinerja menjadi lebih bermakna.

Untuk menilai kinerja diperlukan asesmen yakni diagnosis terhadap seluruh proses bisnis dalam perusahaan. Ada seperangkat pertanyaan mendasar tentang bagaimana perusahaan beroperasi namun berikut ini mungkin contoh gampangnya.

Apakah ada sistem yang mengatur proses perekrutan karyawan? Sudah adakah sistem yang mengatur proses mutasi, rotasi dan promosi? Apabila sudah tersedia sistemnya, apakah diterapkan? dan sudah berapa lama? lalu apakah sistem tersebut pernah di review serta diintegrasikan?

Sesungguhnya banyak alat atau tools untuk mengukur kinerja, salah satunya adalah Baldrige. Ada seperangkat ukuran penilaian kinerja organisasi yang semula dipakai pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan nama Kriteria Keunggulan Kinerja Malcolm Baldrige. Sekarang disebut Baldrige Excellence Framework.

Nama "Baldrige" diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada Malcolm Baldrige yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan AS periode 1981-1987 yang kala itu berjasa terhadap peningkatan manajemen kualitas di AS.

Tools Baldrige ini kemudian diadopsi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi kinerja ekselen dengan nama Kriteria Penilaian Kinerja Unggul (KPKU). Bentuknya adalah rangakaian pertanyaan tentang berbagai aspek fundamental pengelolaan organisasi.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh kategori meliputi kepemimpinan, perencanaan strategis, fokus pada pelanggan, pengukuran, analisis, dan manajemen pengetahuan, fokus pada tenaga kerja, fokus pada operasi dan hasil (result).

Kehadiran kinerja ekselen tidak serta merta menggantikan tools yang lain semisal Balance Scorecard, atau International Organization for Standardization/ISO namun kehadirannnya justru mengintegrasikan tools tersebut.

KPKU ini digadang-gadang sebagai pendekatan yang terstruktur untuk perbaikan kinerja. Selain itu, KPKU dipercaya sebagai yang terdepan dalam menyerap praktik terbaik manajemen yang sudah teruji (validated best management practice).

Apabila sudah diperoleh hasil penilaian atas kinerja, apa yang harus dilakukan? Bukankah segala sesuatu tidak boleh berhenti di penilaian, atau angka, namun harus ada tindaklanjut perbaikannya? Ternyata memang proses tidak berhenti sampai disitu, namun penilaian komprehensif lewat asesmen tadi telah mencerminkan hasil yang terukur.

Hasil-hasil yang sifatnya kuantitatif, selain itu juga ada feedback yang tegas, ada panduannya, bahkan asesor telah menuliskan kekurangan perusahaan berdasarkan pada fakta dokumen tertulis, juga saat on site visit, wawancara dan analisis.

Petunjuk terhadap kekurangan tersebut dinamakan Opportunity For Improvement/OFI yang harus ditindaklanjuti menjadi Action for Improvement/AFI.

Memang kadang pelaksanaan asesmen terkesan rumit dan menyita banyak waktu, apalagi melibatkan personel lintas divisi dan direktorat. Mungkin perlu terobosan yang radikal bila perusahaan ingin menerapkan perbaikan sistem untuk mencapai kinerja ekselen.

Upaya-upaya untuk mencapai kinerja ekselen memang terlihat mudah dalam tataran konsep di atas kertas, namun pasti tidak terlalu mudah ketika berhadapan dengan realitas yang kerap kali kejam dan keras.

*) Penulis adalah alumni Paramadina Graduate School of Communication


Baca juga: Pemerintah nilai kinerja perusahaan internalisasi SDGs dalam kelola lingkungan
Baca juga: Twitter babak belur, Facebook berjaya

 

Pewarta: -
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019