Jangan dijadikan bahan pertimbangan karena khawatir itu propaganda
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto mengkhawatirkan penyebaran Tabloid Indonesia Muhammadiyah sebagai alat propaganda untuk menjatuhkan kelompok tertentu di masa kampanye Pemilu 2019.

Sunanto pun tidak melarang pengurus masjid untuk menerima tabloid tersebut, namun meminta pengurus masjid supaya mengkaji konten media tersebut sebelum didistribusikan ke jemaah.

“Silakan diterima, tapi jangan dijadikan bahan pertimbangan karena khawatir itu propaganda. Itu dikaji terlebih dahulu informasi yang ada,” kata Sunanto usai diterima Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres Jakarta, Jumat.

Aktivis lembaga kepemiluan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) itu juga mendorong Kepolisian dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengusut tokoh di balik Tabloid tersebut, apabila terbukti kontennya mengandung propaganda.

“Kalau itu propaganda, kami berharap ada Bawaslu dan Kapolri, saya kira harapannya cepat mengusut apakah itu kontennya propaganda atau kampanye,” tambahnya.

Ribuan eksemplar Indonesia Barokah ditemukan berada di sejumlah masjid di daerah, antara lain di Solo, Yogyakarta, Purwokerto, dan Karawang.

Sebelumnya, Cawapres Sandiaga Uno menduga Indonesia Barokah digunakan oleh kelompok lawan sebagai alat kampanye hitam untuk menyerang dirinya dan Capres Prabowo Subianto.

Itu saya serahkan kepada aparat hukum, itu adalah bagian 'black campaign' yang sudah kami sama-sama sepakati untuk tidak lakukan, tetapi ternyata seperti 2014, versi 2019 keluar," tutur Sandiaga di Jakarta, Kamis (24/1).

Tabloid Indonesia Barokah memuat artikel yang diduga meyudutkan pasangan Prabowo-Sandiaga dan digunakan sebagai alat kampanye hitam untuk menyerang pasangan tersebut.

Baca juga: Bawaslu Jateng tunggu kajian dewan pers terkait tabloid Indonesia Barokah

Baca juga: Sandiaga Uno serahkan tabloid Indonesia Barokah pada polisi


Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto (tengah) di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Jumat (25/1/2019). (Fransiska Ninditya)

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019