Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk lebih menanggapi dan mendorong upaya mengatasi dampak perubahan iklim terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

"Perubahan iklim adalah suatu kenyataan yang sedang terjadi saat ini," kata Menlu Retno Marsudi dalam keterangan tertulis dari Kementerian Luar Negeri RI yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Pernyataan tersebut disampaikan Menlu dalam pertemuan debat terbuka Dewan Keamanan PBB mengenai Penanganan dampak perubahan iklim terhadap perdamaian internasional di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada Jumat (25/1).

Menlu menyampaikan bahwa isu perubahan iklim merupakan isu yang penting karena berdasarkan penelitian United Nations Population Fund (UNFPA), perubahan iklim dalam 100 tahun ke depan akan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut di Kota Semarang yang berpotensi menggenangi kawasan pesisir Semarang antara 1,7 hingga tiga kilometer persegi.

Menurut Menlu, Semarang yang secara ekonomi merupakan kota dinamis memiliki kemampuan untuk beradaptasi atas dampak perubahan iklim. Namun banyak kota dan negara lain yang tidak memiliki kapasitas untuk beradaptasi.
 
Akibatnya akan terjadi kehilangan mata pencaharian masyarakat, kerentanan pangan, kehilangan wilayah serta migrasi yang tidak teratur (irregular migration). 

"Indonesia sangat prihatin dengan dampak dari perubahan iklim terhadap negara-negara kepulaun kecil, yang bahkan dapat mengancam keberlangsungan suatu bangsa," tuturnya.

Menlu menegaskan pentingnya mengembangkan kapasitas adaptasi negara terhadap perubahan iklim. Apabila hal itu tidak terwujud, maka potensi ancaman terhadap keamanan internasional, yang merupakan perhatian Dewan Keamanan PBB, akan semakin besar. 

"Ancaman perubahan iklim terhadap keamanan internasional sudah jelas, oleh karenanya DK PBB harus dapat merespons ancaman-ancaman tersebut," kata Menlu Retno.

Menlu pun menyampaikan tiga poin terkait dengan peran Dewan Keamanan PBB dalam mendukung upaya penanganan dampak keamanan dari perubahan iklim. 

Pertama, DK PBB harus mengonsolidasikan upaya bersama untuk menanggulangi ancaman keamanan yang diakibatkan perubahan iklim. Pasukan perdamaian PBB perlu dibekali kapasitas untuk melaksanakan tugas selain operasi militer, seperti operasi penanggulangan bencana dan pembangunan pascabencana. 

Terkait hal itu, pemerintah Indonesia menyatakan siap untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. "Pasukan perdamaian PBB tidak saja hanya dapat melakukan operasi militer, namun juga harus dapat menjalankan 'climate peace mission'," ujar Menlu. 

Kedua, Menlu menyampaikan bahwa pendekatan terhadap pemeliharaan perdamaian (peacekeeping) dan penciptaan perdamaian (peacebuilding) harus mendorong sinergi antara keamanan dan pembangunan. Hal itu mengingat bahwa perdamaian dan pembangunan saling terkait.

Ketiga, Menlu menegaskan bahwa tanggung jawab untuk melakukan mitigasi dan adaptasi dari perubahan iklim merupakan tanggung jawab masing-masing negara.

Selain itu, peran organisasi kawasan yang lebih aktif dalam penanganan bencana akibat perubahan iklim, seperti ASEAN untuk kawasan Asia Tenggara, juga penting. 

"ASEAN telah memperkuat kapasitas AHA Center (Pusat Bantuan Kemanusiaan dan Manajemen Bencana ASEAN) dalam penanganan bencana alam secara terkordinasi, 'One ASEAN One Response'," kata Retno.

Pertemuan debat terbuka Dewan Keamanan PBB mengenai penanganan dampak perubahan iklim terhadap perdamaian internasional, selain dihadiri 15 anggota DK PBB juga dihadiri oleh negara anggota PBB lainnya.

Selain itu, turut hadir Presiden COP-24 UNFCCC, Michal Kurtyka, yang juga merupakan Sekretaris Negara Kementerian Energi Polandia. 

Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019