Makassar (ANTARA News) - Jemari tangan Yusuf (9) terampil menekan titik-titik tertentu pada persendian lengan dan kaki pelanggannya, seorang pria dewasa yang sedang "ngabuburit", menanti datangnya saat berbuka puasa, di Masjid Al Markaz Al Islamy Jenderal M Yusuf, Makassar. Jari-jari mungil itu terlihat terampil memainkan perannya, memberikan efek kesegaran kepada para pelanggannya dan memancing minat orang yang melihatnya. Selain Yusuf, sejumlah bocah seusianya juga menawarkan jasa serupa kepada orang-orang yang sedang "ngabuburit". Hanya dengan mengandalkan balsem dan sebilah kayu berukuran sekitar 20 sentimeter, anak-anak itu menawarkan jasa pemijatan kepada sejumlah jamaah yang sedang beristirahat dalam mesjid yang dibangun Jenderal TNI M Jusuf dan MH Jusuf Kalla itu. "Satu jam dipijat kami minta Rp5.000. Tetapi ada juga yang hanya memberi Rp3.000," ujar Yusuf, bocah sembilan tahun usai memijat salah seorang jemaah. Ia sudah melakoni "profesinya" itu selama dua tahun terakhir pada setiap bulan Ramadan. Uang yang dihasilkannya terhitung lumayan, karena setiap hari ia bisa mengantongi Rp10.000 hingga Rp20.000. "Usai ramadan, saya biasanya bisa menabung dari hasil memijat ini sekitar Rp150.000. Tabungan itu dipakai untuk membeli baju lebaran dan sebagian lagi diberikan kepada orang tua," ujar bocah yang ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan itu. Hal yang sama diakui Hamka (13) yang juga mengaku sudah lama malang-melintang dalam pelayanan pijat di mesjid terbesar di Asia Tenggara itu. Ia mengaku menghabiskan waktu ramadannya seusai pulang sekolah dengan menawarkan jasanya memijat orang yang sedang "ngabuburit". Bak seorang pemijat profesioanl, ia mulai mengoles kaki si pelanggan dengan balsem lalu memijatnya dengan hati-hati. Tak lupa pula, Hamka mengambil sebatang kayu balok berukuran sekitar 20 sentimeter. Kayu itu ia gunakan untuk menekan-menekan kaki si jemaah. Faedahnya, kata Hamka, untuk menghilangkan rasa pegal-pegal dan rasa lelah, khususya bagi mereka yang masuk angin. Rata-rata, para jemaah yang dipijat akan tertidur setelah beberapa menit anggota tubuh mereka digarap bocah-bocah itu. "Kalau hari-hari biasa, jamaah yang ingin dipijat sedikit. Yang paling ramai adalah hari Jumat," ujar Hamka. Karena di sekitar masjid itu banyak tukang pijatnya, kadangkala seorang jemaah ditangani oleh dua sampai tiga pemijat untuk memanjakan pelanggan mereka. Satu orang mendapat bagian memijat kaki dan betis, seorang lagi memijat bagian pergelangan dan satunya mencabut rambut putih si jemaah tersebut. Namun kadang kala, petugas masjid datang yang dan mengusir par apemijat ketika mereka sedang asyik melayani pelanggan. "Saya sudah sering diusir petugas di sini," ujar Majid (17) yang sudah sekitar lima tahun menjalankan aktivitas tersebut. Alasannya, kata Majid, pihak pengurus mesjid tidak ingin lantai masjid tercemar bau tidak sedap dari balsem yang digunakan untuk memijat. Akibatnya, mereka terpaksa memijat jemaah di tempat-tempat tertentu yang tidak mudah terlihat pengurus masjid, misalnya di lantai dua atau tiga. Bahkan ada pula di antara mereka yang menyimpan balsem pada tempat-tempat tertentu dalam mesjid untuk mengecoh para pengurus masjid. Soalnya, sudah dapat dipastikan, pengurus masjid akan menggeledah para remaja yang sudah dikenali sebagai pemijat. Petugas itu biasanya mencari balsem yang dibawa para remaja itu, ketika mereka akan memasuki aula masjid. Ibarat kucing dan tikus, meski tidak diperkenankan untuk melakukan aktifitas memijat di koridor masjid, namun anak-anak ini masih tetap menawarkan jasanya guna mencari hadiah spesial lebaran kendati mereka diliputi perasaan was-was. Sebagian jamaah mengaku puas dengan layanan pijat bocah-bocah di Al Markaz tersebut, paling tidak untuk membunuh waktu hingga suara azan tanda waktu berbuka puasa tiba. "Kalau saya merasa lelah, seluruh persendian badan terasa ngilu. Saya sengaja datang ke masjid ini hanya untuk dipijat anak-anak itu. Daripada ke panti pijat, saya harus menghabiskan sekitar Rp100.000," tutur Ismail, salah seorang jemaah. Lagipula dalam bulan ramadan ini, sejumlah panti pijat refleksi dan tempat hiburan malam (THM) tidak beroperasi. Ismail mengaku bahwa kualitas pijatan bocah-bocah itu nyaris tidak ada bedanya dengan mereka yang berprofesi khusus sebagai tukang pijat di panti-panti pijat.(*)

Pewarta: Oleh Rahma Saiyed
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007