Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arief Nugraha menilai pemerintah perlu meninjau ulang skema distribusi pupuk bersubdisi karena dikhawatirkan mengganggu produktivitas sektor pertanian.

Arief menjelaskan pupuk adalah salah satu unsur penting dalam pertanian dan digunakan untuk memaksimalkan hasil produksi dari petani. Dalam masa tanam, ada periode-periode tertentu bagi petani untuk menggunakan pupuk. Oleh karena itu, pupuk harus tersedia tepat pada saat masa pemupukan karena akan berdampak pada hasil produksi petani.

"Beberapa masalah yang sering dialami pada pupuk bersubsidi, antara lain adalah kelangkaan, terlambatnya distribusi pupuk dan subsidi tidak tepat sasaran. Masalah-masalah ini dapat menyebabkan hasil panen tidak maksimal dan menghambat produktivitas petani," kata Arief dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.

Menurut Arief, masalah distribusi tidak jarang membuat pupuk bersubsidi tidak tersedia pada saat petani menggunakan pupuk. Hal ini membuat petani kesulitan karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya, petani terpaksa menggunakan pupuk non subsidi yang harganya cukup jauh dengan pupuk subsidi.

Pupuk bersubsidi memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan pupuk non subsidi. Saat ini, harga pupuk bersubsidi baik Urea, NPK dan merk lainnya sekitar Rp2.000 per kilogram.

Sementara itu, harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp8.000 hingga Rp12.000 per kilogram. Perbedaan harga yang sangat tinggi ini terjadi dikarenakan pupuk non subsidi, terutama yang diproduksi oleh perusahaan, merupakan produk impor.

Pilihan petani menjadi terbatas karena adanya perbedaan harga ini. Petani yang punya modal cukup kuat mungkin masih akan sanggup untuk membeli pupuk non subsidi.

Namun hal ini belum tentu terjadi pada petani dengan modal yang lemah. Petani-petani dengan modal kecil ini akan kesulitan membeli pupuk non subsidi dikarenakan harganya yang tidak terjangkau bagi mereka.

"Pupuk yang disubsidi pemerintah saat ini adalah pupuk produksi dari perusahaan BUMN. Saat pupuk bersubsidi bermasalah, alternatif yang dimiliki oleh petani adalah membeli pupuk non subsidi yang diproduksi oleh BUMN maupun swasta. Sayangnya pupuk-pupuk ini tidak disubsidi oleh pemerintah dan menyebabkan harganya jauh lebih mahal dengan pupuk bersubsidi," tambah Arief.

Arief memaparkan salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengubah skema distribusi pupuk bersubsidi. Skema subsidi pupuk dapat diubah agar tidak terpaku pada subsidi produk tertentu seperti yang selama ini terjadi.

Subsidi dapat dialihkan kepada petani melalui kartu tani. Kartu tani dapat digunakan untuk membelanjakan pupuk yang selama ini termasuk dalam kategori pupuk non subsidi dengan subsidi yang ada di kartu tani tersebut. Dengan subsidi dialihkan ke kartu tani, petani dapat membeli pupuk dari produsen swasta dengan potongan harga dari subsidi pada kartu tani tersebut.

Penerapan sistem ini akan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk bersubsidi buatan perusahaan pupuk BUMN. Para petani dapat memiliki alternatif selain produk-produk bersubsidi buatan perusahaan pupuk BUMN untuk memenuhi kebutuhan pupuknya. Proses pemupukan tetap dapat berlangsung tanpa harus tergantung pada produk pupuk buatan BUMN.

Berdasarkan data dari Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), total konsumsi pupuk di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 11,1 juta ton. Rincian komposisi konsumsi pupuk tersebut adalah pupuk Urea sebesar 5,9 juta ton, pupuk NPK sebesar 2,5 juta ton, kemudian diikuti dengan pupuk ZA sebesar 900 ribu ton, pupuk SP-36 sebesar 800 ribu ton dan pupuk organik sebesar 680 ribu ton. Angka 11,1 juta ini adalah ton adalah angka gabungan antara pupuk bersubsidi dengan pupuk non subsidi.

Menurut laporan tahunan dari Pupuk Indonesia, penjualan pupuk bersubsidi mencapai angka 9,2 juta ton. Angka ini adalah terdiri dari 4,1 juta ton pupuk Urea, 2,6 juta ton pupuk NPK dan 2,5 juta pupuk lainnya. Jumlah konsumsi tersebut menunjukkan bahwa sekitar 81 persen konsumsi pupuk Indonesia adalah pupuk bersubsidi.

Baca juga: Pupuk Indonesia siap salurkan 8,87 juta ton pupuk bersubsidi pada 2019
Baca juga: Cegah kelangkaan proses distribusi pupuk dioptimalkan
Baca juga: Kini pupuk bersubsidi dipasang label sekuriti

 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019