Jakarta (ANTARA News) - Meski RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sudah disetujui menjadi usul inisiatif DPR RI sejak pertengahan Oktober 2018, namun ada beberapa hal yang diakui masih membutuhkan aspirasi dari masyarakat dalam pembahasannya.

Kalau melihat sejarahnya, RUU Pesantren sudah digagas Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak 2009. Saat itu bernama RUU tentang Madrasah Diniyah dan Pendidikan Pesantren.

Dalam perjalanannya, setelah menerima aspirasi, saran dan masukan, draf RUU ini diubah namanya dari RUU tentang Madrasah Diniyah dan Pendidikan Pesantren menjadi RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Awalnya, Ketua Fraksi PPP DPR RI Reni Marlinawati menyerahkan usul Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan kepada Badan Legislasi DPR pada 27 Maret 2018. Pengajuannya dilandasi semangat dan komitmen partai ini dalam memperjuangkan pendidikan keagamaan.

Keberadaan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dan Pesantren ini dinilai sangat penting dalam meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana sudah diamanahkan oleh UUD 1945, kata Reni Marlinawati, waktu itu.

Atas dasar itu, PPP berharap RUU ini perlu segera dibahas dan disetujui untuk disahkan menjadi UU. Dalam bahasa idealismenya demi memperkokoh kembali nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Disadari atau tidak, dinamika saat ini terjadi penggerusan nilai-nilai Pancasila sehingga keberadaan pendidikan pesantren menjadi mutlak dan harus diperhatikan oleh negara. RUU ini dinilai bisa menjadi instrumen penting untuk mewujudkan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.

Fraksi PPP sebagai partai pengusul RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terus mendorong pemerintah untuk hadir secara nyata terhadap peningkatan pendidikan keagamaan dan pesantren di Indonesia.

Menurut anggota Badan Legislasi dari Fraksi PPP DPR, Achmad Baidowi, RUU ini tidak hanya mengatur pendidikan agama Islam seperti pesantren dan madrasah diniyah, tapi juga pendidikan semua agama yang sah di Indonesia.

RUU ini terdiri atas 10 bab dan 169 pasal. PPP sebagai salah satu pengusul bersedia berkompromi dengan menyandingkan draf RUU yang dikompilasi oleh tenaga ahli Badan Legislasi bersama tenaga ahli PPP dan tenaga ahli PKB.

Kompromi itu terlihat dari ada perubahan judul RUU dari semua RUU tentang Madrasah Diniyah dan Pendidikan Pesantren menjadi RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Sejak mengusulkan RUU ini, tak sedikit pihak yang menyampaikan aspirasi, saran dan masukan serta dukungan maupun sikap kritis baik secara langsung maupun tidak. Pada 18 April 2019, misalnya, Fraksi PPP menerima delegasi rombongan kiai yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pesantren Muadalah.

Sebut saja, Pengasuh Pondok Pesantren Gontor Ponorogo KH Amal Fathullah Zarkasyi yang mengatakan dengan adanya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan akan semakin memperkuat eksistensi pesantren. Karena itu, pengajuan RUU ini dinilai tepat.

Kemudian pada 13 September 2018, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai usul inisiatif DPR. Selanjutnya, RUU ini dibawa ke rapat paripurna DPR untuk dimintakan persetujuan.

Rapat Paripurna DPR pada 16 Oktober 2018 menyetujui RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU usul inisiatif DPR.

PPP tampaknya sedikit lega dengan persetujuan fraksi-fraksi di DPR untuk membahas lebih lanjut RUU ini.

Selanjutnya, PPP berharap pemerintah diharapkan segera merespons usul inisiatif ini dengan menerbitkan amanat presiden untuk menunjuk para menteri terkait guna membahas RUU ini.

Baidowi mengatakan dalam pembahasan draf RUU itu, Fraksi PPP telah meminta masukan dari para pimpinan pondok pesantren, pimpinan lembaga diniyah serta para pakar untuk bahan penyusunan naskah akademik.

Tentu perlu disadari draf RUU ini masih banyak kekurangan sehingga perlu penyempurnaan. Untuk itu, ketika nanti dalam pembahasan bersama pemerintah, PPP kembali meminta saran, aspirasi dan masukan dari semua pihak.

Yang pasti, ketika nanti RUU ini menjadi UU maka eksistensi pendidikan pesantren dan keagamaan memiliki dasar hukum yang kuat.

Kado

Bagi Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan merupakan kado Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2018.

Dia bersyukur RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan masuk Program Lesgislasi Nasional (Prolegnas). Ini merupakan kado terindah Hari Santri, kata Muhaimin di sela kegiatan puncak Hari Santri Nasional di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu (4/12/2019).

Namun harapan agar RUU ini segera dibahas DPR, DPD RI bersama pemerintah ternyata meleset. Pemerintah melalui Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin justru ingin menyiapkan draf tandingan.

Menteri Agama menyatakan pihaknya segera menyusun rancangan persandingan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. RUU sandingan itu akan dibuat untuk merespons keluhan sejumlah pihak atas draf RUU yang disusun DPR.

Karena itu, Kementerian Agama menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dari berbagai perspektif dan tidak hanya terkait lembaga pendidikan.

Menag mengatakan sebuah lembaga dapat disebut pesantren jika ada kiai, kitab- kitab yang dikaji dan persyaratan lainnya yang harus dipenuhi Tidak boleh lagi ada yang mengklaim sebuah padepokan mengatasnamakan pesantren, tetapi tidak ada kiainya dan tidak ada kitab yang dikaji.

Namun pernyataan menag mendapat reaksi dari anggota DPR. Misalnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengemukakan, tugas menteri bukan membuat draf RUU baru untuk menandingi draf RUU yang telah diinisiasi oleh DPR, tetapi membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU tersebut.

Marwan meminta Menteri Agama untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi: ayat (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Ayat (2), Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.

Karena itu, menurut Marwan, dalam hal RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan usulan DPR, terhitung sejak surat DPR diterima oleh Presiden maka dalam waktu 60 hari Presiden menugaskan pada kementerian terkait untuk mempersiapkan pembahasan dengan menyiapkan DIM pemerintah.

Selanjutnya menteri melakukan pembahasan bersama DPR RI setelah surpres diterima DPR. Setelah RUU tersebut diputuskan menjadi RUU usul inisiatif DPR pada 16 Oktober 2018, draf RUU dan surat pimpinan DPR telah disampaikan kepada Presiden.

Marwan yang merupakan Wakil Ketua Fraksi PKB DPR RI mengatakan, pihaknya menyadari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan memang masih perlu disempurnakan. Karena itu, diimbau agar masyarakat dan pihak-pihak terkait tidak risau atas kekurangan dalam draf RUU ini.

Hal itu karena masih dibuka ruang yang luas untuk memberi masukan dan koreksi pada saat pembahasan. Bagi DPR, masukan selama pembahasan RUU ini penting dalam rangka penyempurnaan RUU tersebut.

Sekolah Minggu

Masukan, misalnya, juga telah disampaikan Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 31 Oktober 2018. Partai ini mendukung hadirnya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, namun meminta agar pasal terkait Sekolah Minggu direvisi.

Pernyataan PSI disampaikan juru bicaranya Dara A Kesuma Nasution terkait keberatan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) atas beberapa hal antara lain pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi.

Selain itu menyangkut jumlah syarat mendirikan pendidikan keagamaan dengan peserta didik paling sedikit 15 siswa seperti yang tertera dalam draf RUU, perlu mendapatkan perhatian.

Selanjutnya juga ada keberatan pada Pasal 69 ayat 4 RUU ini yang memuat ketentuan bahwa setiap pengajaran nonformal harus dilaporkan dulu ke Kementerian Agama di kabupaten atau kota.

Wajar jika kemudian ada kekhawatiran bahwa hal ini berujung pada birokratisasi pendidikan. Jadi sebaiknya dua pasal itu direvisi, kata Dara.

Di sisi lain, karakteristik pesantren dan Sekolah Minggu itu tidak sama. Karena itu akan menimbulkan masalah jika keduanya diperlakukan sama.

Sekretaris Eksekutif PGI Pdt Henrek Lokra juga mengemukakan, di dalam gereja, Sekolah Minggu adalah bagian dari proses ibadah bagi anak-anak. PGI merasa Sekolah Minggu tidak perlu dimasukkan dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan melainkan cukup dikhususkan bagi pendidikan pesantren saja.

Tahap menyampaikan aspirasi, saran dan masukan atas substansi RUU tersebut masih terbuka luas seperti disampaikan para penggagasnya. DPR diyakini akan memberi perhatian atas suara masyarakat.

Baca juga: Jokowi janji dorong penyelesaian RUU Pesantren di hadapan massa NU
Baca juga: Hapus diskriminasi pendidikan swasta dan negeri

 

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019