Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memerlukan strategi yang tepat agar tidak hanya menjadi pasar bagi pelaku usaha "e-commerce" dari luar negeri, tetapi dapat  memberdayakan industri lokal di tingkat global.

"Agar Indonesia tidak hanya sekedar menjadi pasar, perlu ada strategi yang tepat untuk mendukung Penguatan UMKM di daerah, khususnya industri kecil dan menengah berbasis desa selayaknya melalui pemanfaatan teknologi digital ini," kata Peneliti Senior Indonesia for Global Justice (IGJ) Olisian Gultom dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, penyiapan sarana pendukung di daerah seperti kemampuan logistik yang memadai, penyiapan server berbasis kabupaten/kota juga harus bisa dilakukan secara paralel atau bersamaan dengan pembangunan jaringan broadband nasional.

Olisias Gultom mengingatkan bahwa nilai dan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia di tahun 2018 menjadi yang paling menonjol di ASEAN dan bahkan di dunia. 

Ia memaparkan, nilai ekonomi digital Indonesia tersebut mencapai 27 miliar dollar (49 persen), tertinggi di ASEAN, namun di sisi lain kontribusi "e-commerce" terhadap PDB baru sebesar 2,9  persen. 

"Tetapi potensi dan peluang ini tetap saja rentan menjadi tidak optimal bila tidak disikapi secara bijaksana dan hati-hati bagi pembangunan Indonesia ke depan," paparya.

Olisian menjelaskan, fenomena itu perlu disikapi secara hati-hati karena pasar yang sebelumnya menjadi harapan bagi produk dan industri lokal dinilai akan semakin sulit dimanfaatkan, dan sebaliknya justru menjadi media penetrasi bagi produk-produk impor untuk bisa mengakses market Indonesia tanpa batas ruang dan waktu.

Situasi ini terjadi, lanjutnya, tidak terlepas antara lain akibat suntikan dana dari investor besar asing yang juga adalah pelaku bisnis serupa internasional atau merupakan kelompok investor yang selama ini berada dibalik "start up" (perusahaan rintisan) besar dunia lainnya. 

"Dampak adanya pelaku bisnis besar dunia dibalik pendanaan bisnis online di Indonesia memberi dampak semakin banyak atau dominannya produk-produk impor pada barang dan jasa yang ditawarkan melalui start up-start up tersebut, sehingga konsekuensi atas kondisi ini adalah akan semakin ketatnya produk-produk lokal, khususnya produk yang berbasis UMKM Indonesia, bersaing dengan produk-produk impor di tengah persaingan global," ucapnya.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah segera mengeluarkan Undang-Undang E-Commerce demi kesetaraan bisnis daring atau "online" dan "offline".

"Kami cuma minta segera dikeluarkan UU E-commerce di Indonesia. Sampai hari ini masih di Prolegnas, masih di DPR dan belum diketok," kata Ketua Aprindo Roy Mandey dalam acara Konferensi Future Commerce Indonesia 2019 di Jakarta, Selasa (29/1).

Roy menuturkan hingga saat ini aturan mengenai "e-commerce" masih mengacu kepada UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), padahal, khusus usaha/bisnis "offline" telah lama diatur melalui UU Nomor 7 Tahun 2004 mengenai Perdagangan. 

Baca juga: Presiden ungkap besarnya peluang e-Dagang Asia Tenggara
Baca juga: Napak tilas perjalanan Bukalapak hingga usia sembilan tahun

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019