Jangan sampai terjadi lonjakan impor gula yang kondisinya bisa menggeser gula loka
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Siregar mengingatkan agar jangan sampai impor komoditas gula melonjak karena hal tersebut berpotensi merembes ke pasar dan akan menurunkan harga gula dalam negeri yang diproduksi petani tebu di berbagai daerah.

"Jangan sampai terjadi lonjakan impor gula yang kondisinya bisa menggeser gula lokal," kata Alamsyah Siregar dalam paparan yang dilaksanakan di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin.

Ia memaparkan, total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, atau lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton.

Selain itu, ujar dia, pertumbuhan industri makanan dan minuman yang jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional telah mengakibatkan peningkatan jumlah impor, mengingat produksi gula domestik belum mampu mengejar standar yang diperlukan industri. "Industri makanan dan minuman lebih banyak yang menggunakan gula," katanya dan menambahkan, ada juga gula impor yang merembes ke pasar.

Ombudsman RI telah menyarankan kepada pemerintah agar kembali membentuk regulasi yang mengawasi peredaran gula impor dengan mempercepat pembentukan Peraturan Presiden tentang Penataan, Pembinaan dan Pengembangan Pasar Lelang Komoditas serta menetapkan kembali peraturan mengenai perdagangan GKR (Gula Kristal Rafinasi) melalui pasar lelang komoditas.

Sebagaimana diwartakan, pemerintah harus dapat meningkatkan kualitas gula nasional dengan cara membenahi produktivitas dan tingkat rendemen gula dalam negeri karena untuk saat ini kualitas gula impor relatif lebih disukai industri.

"Pemerintah sebaiknya fokus membenahi permasalahan seputar gula nasional, mulai dari perkebunan dan nonperkebunan. Rendahnya produktivitas dan tingkat rendemen menjadi penyebab kenapa gula nasional sulit bersaing dengan gula impor," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman.

Menurut Assyifa Szami Ilman, dari sisi on farm, produktivitas perkebunan tebu ditentukan oleh kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja, sistem irigasi, dan penerapan teknologi. Sementara dari sisi "off farm", lanjutnya, pemerintah perlu meningkatkan revitalisasi pabrik gula dan penggilingan tebu guna memperbaiki tingkat rendemen gula.

Berdasarkan data Departemen Pertanian AS (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektare pada tahun 2017. Jumlah itu lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil yang sebesar 68,94 ton per hektare dan India yang sebesar 70,02 ton per hektare dalam periode yang sama.

Ilman menjelaskan faktor lain yang memengaruhi produktivitas gula nasional antara lain adalah dampak buruk dari cuaca, ketidaksesuaian antara varietas tebu dengan lokasi pertanian yang tersedia, relatif tidak tersedianya tenaga kerja yang mampu menerapkan teknik budi daya tebu yang tepat, distribusi pupuk yang masih perlu ditingkatkan efisiensinya, dan juga minimnya pengawasan terhadap penggunaan subsidi pertanian.

Selain itu perusahaan gula juga sering dihadapkan pada sulitnya mendapatkan lahan pertanian yang lokasinya berdekatan dengan pabrik gula dan penggilingan tebu.

Sedangkan berdasarkan data USDA 2017, tingkat rendemen pabrik gula dan penggilingan tebu di Indonesia hanya mencapai 7,50 persen pada 2017/2018.

Angka ini lebih rendah daripada di negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, dan Australia, yang tingkat rendemennya masing-masing mencapai 9,20 persen, 10,70 persen, dan 14,12 persen.

Baca juga: Asosiasi jelaskan alasan pengusaha masih gunakan gula impor

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019