Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) berdasarkan kajian Tren Penindakan Kasus Korupsi 2018 mendapati, kasus korupsi terkait dengan Dana Desa menjadi yang terbanyak, yaitu 96 kasus.

Meskipun demikian nilai kerugian negara dari 96 kasus tersebut hanya sebesar Rp37,2 miliar, jauh dibandingkan nilai kerugian kasus korupsi di sektor perbankan Rp2,1 triliun dengan 16 kasus korupsi, kata Peneliti ICW Wana Alamsyah di Jakarta, Jumat.
  
Kajian mengenai Tren Penindakan Kasus Korupsi 2018 yang dilakukan mulai 1 Januari - 31 Desember 2018.

"Perlu ada pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah untuk meminimalkan korupsi anggaran desa," kata Wana.

Pemerintah meluncurkan dana desa sejak 2015 dan hingga 2019 sudah mencapai Rp257 triliun dikucurkan untuk dana desa. Rinciannya, pada 2015 senilai Rp20,7 triliun, pada 2016 mencapai Rp47 triliun, pada 2017 mencapai Rp60 triliun, pada 2018 mencapai Rp60 triliun dan pada 2019 mencapai Rp70 triliun.

Selain Dana Desa, menurut Wana, sektor publik seperti pendidikan, kesehatan dan transportasi masih terdapat celah untuk melakukan korupsi. 
   
Bidang sosial kemasyarakatan seperti dana bantuan bencana juga berpotensi dikorupsi seperti proyek rehabilitasi SD dan SMP pasca gempa di Lombok yang melibatkan anggota DPRD Mataram. Selain itu kasus pungutan liar yang terjadi di Banten juga terkait dengan jenazah korban pasca tsunami.

"Perlu ada pengawasan terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah mengenai pengeluaran dana bencana alam sehingga potensi kecurangan baik berupa kerugian negara maupun pungutan liar dapat terhindarkan," ungkap Wana.
  
Jatim terbanyak

Sementara itu, Tren Penindakan Kasus Korupsi 2018 mendapati Jawa Timur menjadi provinsi yang paling banyak memiliki kasus korupsi yaitu 52 kasus dengan jumlah tersangka 135 orang dengan kerugian negara Rp125,9 miliar.

Kemudian Jawa Tengah dengan 36 kasus dan 65 tersangka serta kerugian negara Rp152,9 miliar serta Sulawesi Selatan sebanyak 31 kasus dan jumlah tersangka 62 orang dengan nilai kerugian negara Rp74,5 miliar.
   
Provinsi lain yang juga memiliki banyak kasus korupsi adalah Jawa Barat (27 kasus), Sumatera Utara (23 kasus), Aceh (22 kasus), Bengkulu (16 kasus), Jambi (15 kasus), Kalimantan Tengah (15 kasus).
   
Sekitar 89 persen kasus korupsi terjadi di pemerintahan daerah yaitu di tingkat provinsi (20 kasus), kabupaten (170 kasus), kota (48 kasus) dan desa (104 kasus). 

Sementara itu, kasus korupsi di tingkat nasional yaitu terkait dengan korupsi BUMN hanya 11 persen dari total kasus, namun kerugiannya Rp3,1 triliun, artinya kasus yang terjadi di tingkat nasional dari kerugian negara paling besar karena per kasus rata-rata kerugian negaranya mencapai Rp83 miliar.
   
"Ada sebanyak 180 orang yang berlatar belakang politisi ditetapkan sebagai tersangka akibat melakukan korupsi. Hal ini perlu menjadi bahan evaluasi untuk melakukan reformasi partai politik," tambah Wana.

Aktor-aktor yang terlibat korupsi paling banyak masih Aparatur Sipil Negara (375 orang), swasta (235 orang), ketua/anggota DPRD (127 orang), kepala desa (102 orang), kepala daerah (37 orang yaitu 2 orang gubernur, 7 orang wali kota dan wakil wali kota dan 28 orang bupati), dirut/karyawan BUMN (28 orang), aparatur desa (22 orang), diru/karyawan BUMD (15 orang), ketua/anggota kelompok atau organisasi (13 orang) dan kepala sekolah (12 orang).
   
"ASN perlu menjadi 'whistleblower' atau 'justice collaborator' untuk membongkar kasus korupsi yang terjadi khususnya di daerah," tambah Wana.
   
Pada 2018, terdapat kasus yang dilakukan secara berjamaan oleh anggota DPRD kota Malang (41 orang), anggota DPRD provinsi Sumatera Utara (38 orang) dan anggota DPRD provinsi Jambi (12 orang).

Baca juga: ICW: tren penindakan korupsi 2018 turun

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019