Mamuju (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengkritisi masih rendahnya budaya literasi di masyarakat, salah satunya masih kurangnya dukungan dari pemerintah melalui arah kebijakan karena itu dirinya mendukung peningkatakan budaya literasi di masyarakat.

Menurut dia, salah satu yang menghambat munculnya budaya literasi adalah pelarangan buku dan tidak adanya contoh dari pemerintah bagaimana membudayakan membaca di masyarakat.

"Bagaimana mau mengampanyekan literasi kalau konsepnya saja tidak tahu, itu yang membuat kita sulit. Kegandrungan nasional akan literasi masih rendah, lalu sekarang ditambah dengan hilangnya buku," kata Fahri dalam diskusi di Mamuju, Senin.

Dia mengatakan, tradisi membaca atau literasi yang baik, akan melahirkan masyarakat yang berkarakter sehingga ketika literasi rendah maka masyarakat gampang diprovokasi dan dijajah.

Dia menilai dahulu orang membaca buku ada pengantar, pendahuluan, isi dan kesimpulan namun saat ini muncul tradisi menulis pendek melalui media sosial.

Menurut dia, tradisi menulis pendek itu akan melahirkan manusia berpikiran pendek, tidak mengerti bagaimana melahirkan sintesa dan memunculkan kesimpulan sehingga tidak ada alur diskusi dan dialektika yang baik.

Kondisi itu menurut dia diperparah dengan munculnya upaya kriminalisasi terhadap seorang yang menuliskan gagasannya dalam tradisi teks pendek dengan dikenakan pasal pidana dalam UU ITE.

"Itu karena pemerintah tidak mengerti gelombang kebebasan di layar kaca karena ketika orang memegang gawai bisa mengkritisi apapun. Itu membuat galau pemerintah sehingga menggunakan UU ITE padahal digunakan untuk administrasi ekonomi, namun digunakan pemerintah untuk mengintip aktivitas masyarakat," ujarnya.

Dia menilai seharusnya pemerintah menyadarkan masyarakat untuk kembali kepada tradisi literasi misalnya buku apa yang harus dibaca masyarakat seperti menggandrungi teks lama dan membaca sejarah secara utuh.

Dia menilai seharusnya pemimpin bangsa harus mengambil posisi penting dalam tradisi literasi yaitu berbicara secara lantang terkait arah bangsa dan mengirimkannya sinyal tersebut kepada bangsa lain.

"Soekarno ketika di dalam penjara dan dipengasingan di Bengkulu, Ende dan Bandung, mampu mengirimkan sinyal kepada bangsa lain. Karena itu jangan kurangi selera kita terhadap seorang pemimpin, kita butuh pemimpin 'raksasa' dalam ide dan pemikiran yang memukau dunia," katanya.*


Baca juga: Kemristekdikti: mahasiswa wajib miliki literasi baru

Baca juga: Literasi digital kunci menjaga medsos bersih dari ujaran kebencian


 

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019