New York (ANTARA News) - Harga minyak naik hampir dua persen pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), setelah eksportir utama Arab Saudi mengatakan akan memotong ekspor minyak mentah dan memangkas lebih dalam produksinya, tetapi membengkaknya persediaan minyak mentah AS membatasi kenaikan lebih lanjut.

Persediaan minyak mentah AS naik minggu lalu ke level tertinggi sejak November 2017, karena pemurnian atau pengilangan mengurangi produksinya ke terendah sejak Oktober 2017, Badan Informasi Energi AS (EIA) mengatakan.

Kenaikan terjadi meskipun impor neto jatuh, yang turun ke rekor terendah, karena produksi minyak mentah domestik tetap pada level puncak untuk minggu kelima berturut-turut.

Minyak mentah berjangka Brent ditutup naik 1,19 dolar AS atau 1,9 persen, menjadi 63,61 dolar AS per barel. Acuan global ini sempat menyentuh tertinggi sesi di 63,98 dolar AS, tetapi mundur kembali setelah data EIA dirilis.

Sementara itu, minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) naik 80 sen AS atau 1,5 persen, menjadi menetap di 53,90 dolar AS per barel, setelah menyentuh tertinggi 54,60 dolar AS di awal sesi.

"Laporan ini `bearish`," kata Phil Flynn seorang analis minyak di Price Futures Group di Chicago. "Pasar bertahan naik karena faktor di luar pasar, harapan untuk kesepakatan perdagangan, dan Dow yang kuat," katanya.

Namun laporan yang agak "bearish" tidak banyak mengguncang sentimen pasar yang sangat "bullish", kata Tom Saal, wakil presiden senior di INTL FCStone di Miami.

"Ini sedikit di sisi `bearish`," kata Saal. "Tapi berita tentang Arab Saudi cukup signifikan, sehingga pasar bereaksi terhadap hal itu lebih daripada hal lainnya saat ini."

Pada Selasa (12/2), Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih mengatakan kepada Financial Times bahwa produksi kerajaan itu akan turun di bawah 10 juta barel per hari pada Maret, lebih dari setengah juta di bawah target yang disepakati dalam kesepakatan antara OPEC dan sekutunya, yang bertujuan untuk membatasi pasokan global.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengatakan pada Selasa (12/2) pihaknya telah memangkas produksi hampir 800.000 barel per hari pada Januari menjadi 30,81 juta barel per hari. Arab Saudi berkontribusi atas sebagian besar pengurangan itu.

"Faktor perasaan-baik kembali berperan tetapi `bullish` minyak belum berarti keluar dari kesulitan," kata PVM Oil Associates, Stephen Brennock.

"Ini adalah fakta yang terkenal bahwa ekonomi dunia kehilangan momentum di tengah sejumlah besar risiko penurunan termasuk ketegangan perdagangan AS dan China yang masih berlangsung dan ketidakpastian geopolitik."

Pembatasan AS terhadap sektor energi Venezuela akan menghapus sekitar 330.000 barel per hari dalam pasokan tahun ini, menurut Goldman Sachs.

Harga minyak telah naik sebesar 20 persen sepanjang tahun ini, namun sebagian besar kenaikan itu terjadi pada awal Januari, sebelum pengenaan sanksi-sanksi AS terhadap sektor energi Venezuela.

Pasar minyak global tetap dipasok dengan baik, Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan dalam laporan pasar bulanan pada Rabu (13/2(, dan produksi masih akan melebihi permintaan tahun ini.

"Harga minyak tidak meningkat secara mengkhawatirkan karena pasar masih bekerja dari surplus yang dibangun pada paruh kedua 2018," kata IEA.

"Dalam hal kuantitas, pada 2019, AS sendiri akan meningkatkan produksi minyak mentahnya lebih besar dari produksi Venezuela saat ini. Dalam hal kualitas, ini lebih rumit. Masalah kualitas."

Produksi minyak mentah AS diperkirakan akan tumbuh sebesar 1,45 juta barel per hari tahun ini dan 790.000 barel per hari tahun berikutnya dan akan mencapai 13 juta barel per hari pada tahun 2020, menurut EIA.

Pertumbuhan, dipimpin oleh produksi minyak serpih AS, telah menambah persediaan global cukup tinggi untuk produk-produk minyak mentah dan olahan. Margin penyulingan untuk bensin telah jatuh.

Baca juga: Harga minyak naik, Saudi janjikan pangkas produksi lebih banyak

 

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019