Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah perlu untuk membenahi sengkarut tata niaga impor pangan nasional terutama terkait dengan tata produksi, distribusi, serta konsumsi termasuk juga permasalahan mengenai data pangan yang selama ini masih kerap disorot berbagai pihak.

"Temuan BPK tahun 2018 menyebutkan bahwa ada sengkarut terkait dengan tata niaga impor pangan," kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, Jumat.

Menurut Rachmi Hertanti, hasil pemeriksaan BPK menemukan sebanyak sembilan kesalahan, di mana permasalahan itu antara lain persetujuan impor tanpa pembahasan di rapat koordinasi antar kementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan, hingga lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor.

Selain itu, ujar dia, persoalan agenda pembangunan infrastruktur yang dipilih juga telah berdampak terhadap  sektor pangan. Aktivitas investasi di Indonesia guna meningkatkan daya saing Indonesia dikatakan telah berkontribusi pula terhadap hilangnya akses petani terhadap sumber daya ekonominya. 

"Bahkan, penguasaan lahan ke tangan korporasi pun meningkat yang kemudian berbanding terbalik dengan penguasaan lahan bagi petani," katanya.

Di sisi yang lain, menurut dia, juga terjadi penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 3,52 juta orang. Pada 2016, angka tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian sebesar 39,22 juta orang, dibandingkan dengan tahun 2018 hanya sebesar 35,70 juta orang. 

Dari segi pendapatan, lanjutnya, rata-rata upah di sektor pertanian masih memiliki nilai upah di bawah rata-rata upah nasional 2018, yakni sebesar 1,76 juta. Bahkan, data BPS juga menunjukan bahwa petani lokal 88,27 persen adalah pekerja informal.

Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan peringatan dini kepada pemerintah terhadap tata kelola implementasi kebijakan yang berkaitan dengan empat komoditas pangan yaitu beras, gula, garam, dan jagung.

"Peringatan dini yang kami sampaikan kepada pemerintah ini kami buat secara terbuka agar berbagai pihak bisa mengawasi administrasi impor dari empat komoditas pangan ini," kata Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, 4 Februari.

Menurut Alamsyah Saragih, penyampaian peringatan dini secara terbuka ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya maladministrasi berulang akibat melemahnya intensitas perhatian para pihak terkait khususnya terkait dengan tahun politik seperti sekarang ini.

Ia mengingatkan bahwa impor komoditas pangan dalam empat tahun terakhir masih memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Ombudsman melakukan pengawasan perkembangan impor komoditas pangan untuk melihat persoalan dan mencegah maladministrasi.


Baca juga: Indef : tidak mungkin impor pangan ditiadakan
Baca juga: Pengamat: capres tidak perlu janji hentikan impor pangan

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019