tantangan ke depan pemerintah adalah memastikan kesejahteraan petani menjadi tujuan utama, karena jika petani sejahtera maka proses produksi akan lebih mudah dilakukan sebab petani mendapatkan manfaat secara ekonomi.
Jakarta (ANTARA News) - Kontroversi terkait permasalahan data pangan terkait berbagai komoditas dinilai sebagai sesuatu hal yang perlu dibahas dalam debat capres tahap kedua pada 17 Februari 2019.

"(Data pangan) ini menjadi isu yang lain dan penting," kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, Jumat.

Menurut dia, kesamaan gerak langkah atau koordinasi dan satu peta jalan yang melingkupi antarkelembagaan dan kementerian merupakan salah satu kunci.

Salah satunya, ujar dia, adalah dalam hal data pangan, karena hal tersebut selama ini dinilai berpotensi menjadi biang keladi kisruh tidak hanya empat tahun terakhir bahkan satu atau dua dekade lalu.

"Pemilihan BPS menjadi lembaga yang bertanggung jawab soal data saya pikir sudah tepat, tinggal memastikan kementerian lain mau menerima dan menggunakan datanya BPS," ujarnya.
Baca juga: Seluruh program Jokowi mengacu pada kemandirian pangan

Ia juga mengemukakan bahwa tantangan ke depan pemerintah adalah memastikan kesejahteraan petani menjadi tujuan utama, karena jika petani sejahtera maka proses produksi akan lebih mudah dilakukan sebab petani mendapatkan manfaat secara ekonomi.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto, menyatakan pihaknya tidak lelah-lelahnya menjamin bahwa lembaga yang dipimpinnya selalu independen, serta mengatakan bahwa lembaga statistik resmi setiap negara harus selalu independen.

"Independensi bagi BPS adalah harga mati," kata Suhariyanto dan menambahkan, kalau lembaga statistik resmi suatu negara tidak independen dan dibuat hanya untuk menyenangkan pihak tertentu, maka dinilai lebih baik dibubarkan saja karena tidak ada lagi gunanya.

Baca juga: Bayu Krisnamurthi: Rendahnya upah petani jadi tantangan Presiden selanjutnya
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Argentina pada sekitar tahun 2007 lalu, di mana Kepala Negara di negara itu mencopot dan mengganti banyak jajaran badan resmi statistik di sana karena melihat bahwa angka inflasi yang ada selalu dua digit.

Setelah diganti, ternyata mendadak angka yang dikeluarkan badan statistik resmi Argentina mendadak menjadi rendah. Padahal, berbagai pihak yang membuat perhitungan secara independen menyatakan bahwa tingkat inflasi yang ada sebenarnya jauh lebih tinggi. Bahkan berbagai pihak tersebut menjadi ada yang diancam untuk dikriminalisasikan.

Bila angka inflasi tidak mencerminkan hal yang sebenarnya, maka dia juga akan berpengaruh kepada beragam indikator lainnya seperti pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan.

Akibatnya, lembaga multilateral seperti IMF mengancam akan memberikan angka merah. Hal ini akan merugikan negara itu karena bila satu angka dicurigai, semua data bisa dicurigai, dan dampaknya juga bakal membuat semakin banyak investor yang enggan untuk menanamkan modalnya di sana.

Kepala BPS menyatakan, pihaknya selalu mengikuti berbagai prinsip fundamental antara lain adalah imparsialitas dan akses yang setara, sehingga semua kalangan masyarakat bisa mengaksesnya pada saat yang sama.
Baca juga: Kerawanan pangan dikatakan bisa dituntaskan tanpa impor
Baca juga: Kebijakan ekonomi terbuka sektor pangan dinilai menguntungkan elite



 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019