Jakarta (ANTARA News) - Kereta cepat massal atau Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta segera beroperasi pada Maret 2019. Dengan begitu, Jakarta akan menjadi salah satu kota di dunia yang mengadopsi tren moda transportasi khas sebuah ibukota yakni, massal, cepat dan terjangkau. 

Antropolog dari Universitas Indonesia, Dr. Semiarto Aji Purwanto menilai MRT merupakan sebuah keharusan untuk dimiliki sebuah kota, karena menjadi salah satu indikator keberhasilan pemerintah kota. 

Tawaran dalam bentuk komparatif dengan kota-kota di dunia, MRT menjadi semacam indikator dari keberhasilan pemerintah kota menyediakan pelayanan transportasi yang baik kepada warganya.

Dalam sebuah wawancara di Universitas Indonesia, Aji mengatakan bahwa MRT menjadi suatu keharusan kota. Tren saat ini adalah MRT.

Sebenarnya kebutuhan masyarakat pada moda yang cepat, massal dan terjangkau, perlahan mulai terpenuhi dengan wajah baru yaitu komuter transporasi berbasis kereta (KRL) dan TransJakarta. 

Namun, kehadiran MRT diharapkan bisa menjadi obat lain mengatasi kerinduan masyarakat pada transportasi yang dapat mengangkut dalam jumlah banyak, cepat dan harga tiket yang terjangkau.

Apalagi tarif MRT yang ditawarkan Rp8.500 dengan jarak tempuh per 10 km relatif terjangkau. 

"Dalam konteks kota lain di dunia dan jika dibandingkan, pelayanan transportasi yang lebih efisien ini adalah mass (masal), rapid (cepat) dan murah. Tiket sebesar Rp8.500 per 10 km, menurut saya sangat oke," kata dia. 
 
Sejumlah wartawan dan pekerja berada di Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Bundaran HI, Jakarta, Rabu (30/1/2019).  ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.


Perlukah MRT Jakarta memiliki sebuah kekhasan ataukah sama saja seperti di kota lainnya? 

Salah satu manfaat MRT adalah dapat mengurangi kepadatan kendaraan di jalan karena karena dapat mengalihkan masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi ke transportasi massal.  MRT memberikan kontribusi dalam meningkatan kapasitas angkut transportasi publik yang bisa mencapai 200.000 orang sekali jalan.

MRT menurunkan waktu tempuh dan meningkatkan mobilitas. Waktu tempuh antara Lebak Bulus sampai Bundaran HI diharapkan turun dari 1-2 jam pada jam-jam sibuk menjadi 30 menit, sementara dari Lebak Bulus sampai Kampung Bandan target waktu tempuh sekitar 52,5 menit.

Penurunan waktu tempuh ini akan meningkatkan mobilitas warga Jakarta. Meningkatnya mobilitas warga kota ini memberikan dampak kepada peningkatan dan pertumbuhan ekonomi kota, dan meningkatkan kualitas hidup warga kota.


Kultur baru 
 
Petugas beraktivitas di Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (29/11/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.


Pada satu sisi, MRT dan moda transportasi berbasis teknologi memunculkan kultur baru pengguna, mulai disiplin hingga lebih terikat pada jadwal. Perilaku pengguna yang semula seenaknya misalnya merokok di dalam angkutan, duduk semaunya, perlahan berubah. 

Selama ini warga menggunakan transportasi massal seenak sendiri. Kemudian muncul pengaturan. TransJakarta yang menerapkan contoh disiplin kepada penumpang.  Ada persoalan teknologi yang menuntut sisi disiplin oleh operatornya.

"Transjakarta bisa berhenti di mana saja, tetapi orang tidak bisa turun (di mana saja). “Setelah ada teknologi, kita bisa memaksa, mengontrol, membuat tidak ada pilihan,”ujar Aji. 

Dari sisi pelayanan, naik TransJakarta cepat mengubah sistemnya. Jika awalnya penumpang harus menggunakan uang, saat ini menggunakan kartu akses. Peralihan menggunakan uang menjadi kartu akses menjadid contoh bagus bagaimana perubahan kultur dalam transportasi TransJakarta.

Ada semacam “culture shock” di masa awal, namun perlahan hal ini terlupakan mengingat learning capasity pengguna transportasi di negeri ini sangat cepat. 

“Dalam berbagai studi, MRT dan transportasi massal lainnya mengajarkan disiplin, punctuality," tutur Aji. 
 
Layar informasi untuk penumpang terpasang di kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta fase I koridor Lebak Bulus - Bundaran HI yang sedang diuji coba di Jakarta, Kamis (7/2/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.


Di sisi lain, sifat individual tinggi yang salah satu ciri khas masyarakat perkotaan akan muncul. Terlepas dari positif dan negatif, hal ini berujung pada hadirnya rasa respek.

"Di Jakarta sebagai ibukota, MRT dan segala macam tata tertib akan mendorong pada individualisme yang kuat. Itu bukan persoalan positif atau negatif. Dari situ muncul kepedulian pada orang lain. Belum terlalu tumbuh," ungkap Aji. 

Selain itu, bila merujuk pada kota-kota di negara maju, stasiun MRT biasanya terintegrasi dengan pusat ekonomi seperti mal, pasar dan kondisi serupa bisa terjadi di tanah air. Akibatnya, kebiasaan konsumtif masyarakat akan semakin terfasilitasi. 

Stasiun akan rugi kalau tidak membuka pusat bisnis,  untuk keperluan utama, sekunder maupun kebutuhan tersier.


"Dipaksa" jalan kaki
 
Pekerja menyelesaikan pembangunan stasiun kereta Mass Rapid Transit (MRT) Bundaran HI di Jakarta, Kamis (17/1/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.


Dengan kehadiran MRT, masyarakat kota Jakarta sebagai pengguna transportasi  akan dipaksa bisa mengidentifikasikan diri sama seperti warga kota di tingkat global. 

Dengan begitu, mereka juga harus siap mengadopsi kultur yang berlaku di tingkat global, salah satunya terlatih untuk berjalan kaki. 

Ahli gizi dan olahraga yang juga pemerhati gaya hidup, Jansen Ongko mendukung hal ini. Secara tegas dia menyatakan MRT bisa menjadi sarana meningkatkan jumlah pejalan kaki. 

Dalam sebuah penelitian bahwa masyarakat Indonesia khususnya di perkotaan seperti Jakarta mendapat predikat “the laziest walkers in the world”, karena minimnya infrastruktur pendukung.

Dengan adanya MRT otomatis akan meningkatkan jumlah pejalan kaki, setidaknya mereka yang menggunakan fasilitas tersebut.

Menurut pria lulusan Nutrition, Dietetics, and Food Science di California State University itu, peralihan  akan terjadi jika infrastruktur bagi pejalan kaki memadai dari sisi kenyamanan dan keamanan. 

Hanya saja, sebagian orang masih menganggap remeh berjalan kaki. Padahal bila rutin dilakukan, perilaku ini memiliki segudang manfaat untuk kesehatan tubuh, mulai dari menurunkan tingkat stres, memperbaiki suasana hati, menyehatkan jantung dan menurunkan berat badan. 

"Dengan rutin berjalan kaki, program menurunkan berat badan menjadi lebih mudah karena tidak merasa sedang berolahraga," ujar Jansen.
 
Petugas menaiki kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta fase I koridor Lebak Bulus - Bundaran HI yang sedang diuji coba di Jakarta, Kamis (7/2/2019).  (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)


Munculnya teknologi baru hampir dipastikan memberikan dampak ikutan terhadap kehidupan masyarakat. MRT dengan segala keunggulannya sebagai alternatif moda transportasi modern harus dikelola secara komprehensif yang dikaitkan dengan tata ruang sebuah perkotaan.
   
Seperti di negara-negara yang telah berhasil mengg unakan moda ini, kawasan di sekitar MRT menjadi kawasan yang berkembang. 

MRT  tidak hanya sekedar membantu mengatasi kemacetan, namun juga sebagai pendorong bagi Pemprov DKI Jakarta untuk merestorasi tata ruang kota seperti pembangunan jalan trotoar menuju stasiun atau menyediakan angkutan umum, menyediakan parker memadai sehingga memudahkan warga datang atau meninggalkan stasiun MRT.

Dengan cara ini, warga yang tinggal  atau beraktivitas di sekitar jalur MRT dapat merasakan manfaat langsungnya, sementara warga yang tinggal agak jauh juga dapat meninggalkan kendaraan pribadi dan mengakses  MRT dengan angkutan umum pendukung.

Baca juga: Tarif MRT Jakarta Rp8.500, Menhub: masuk akal

Baca juga: Addie MS pimpin penumpang MRT menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2019