Purwokerto  (ANTARA News) - Akademikus dari Universitas Jenderal Soedirman Indra Permanajati mengingatkan pentingnya memanfaatkan kentongan sebagai sarana komunikasi peringatan dini bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah rawan bencana.
 
"Kentongan atau alat-alat tradisi lokal dapat dimanfaatkan sebagai salah satu strategi mitigasi bencana berbasis kearifan lokal," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu.

Indra yang merupakan Dosen Mitigasi Bencana Geologi, Jurusan Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman tersebut menjelaskan salah satu strategi dalam mitigasi bencana alam adalah percepatan informasi bencana.

"Seringkali mitigasi bencana kurang optimal karena kurangnya komunikasi yang baik. Hal ini bisa terjadi jika di suatu daerah rawan bencana tidak ada alat yang mendeteksi bahaya atau sudah ada alatnya, namun bencananya tidak terdeteksi karena merupakan bencana yang tidak terduga penyebabnya," katanya.

Untuk itu, kata dia, daerah rawan bencana yang belum terdapat alat pendeteksi bisa mengusulkan untuk segera dipasang alat.

"Kemudian sekiranya bencananya masih belum teridentifikasi maka diperlukan pengkajian lebih lanjut tentang sumber bencana," katanya.

Permasalahan yang sering muncul, ujar dia, adalah seringkali daerah bencana mencakup wilayah yang luas dan memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk memasang alat pendeteksi.

"Sehingga pemasangan alatpun sangat terbatas jumlahnya," katanya.

Untuk mengatasi hal tersebut, dapat dilakukan dengan penciptaan alat-alat pendeteksi yang lebih efektif dengan biaya yang relatif lebih murah.

"Hal ini akan bisa mengatasi kekurangan alat pendeteksi bencana di daerah-daerah yang belum terpasang," katanya. 

Kemudian langkah selanjutnya untuk mengurangi dampak risiko bencana adalah dengan menghidupkan kembali kebiasaan lokal atau kearifan lokal untuk identifikasi bahaya.

"Contohnya seperti yang saya sebutkan tadi, yaitu kentongan atau alat-alat tradisi lokal yang dapat dimanfaatkan. Tetapi tradisi ini harus digabungkan dengan informasi yang bersifat ilmiah, seperti misalkan bunyi kentongan untuk kondisi waspada, kondisi bahaya ataupun kondisi segera evakuasi," katanya. 

Untuk itu sebaiknya bunyi kentongan dibedakan dari nada suaranya untuk memperjelas kondisi yang sedang dihadapi. 

"Bahkan jika perlu nada suara kentongan masing-masing kondisi dapat diseragamkan secara nasional," katanya.

Baca juga: Kepala BMKG tekankan pentingnya kearifan lokal dalam mitigasi tsunami
Baca juga: Peneliti: Kearifan lokal masyarakat bisa jadi mitigasi bencana

 

Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019