Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan pengamat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan menegaskan bahwa hakim tidak boleh mengadili perkara di mana dia berkepentingan dengan kasus itu sendiri.

"Hakim tidak boleh menjadi hakim untuk dirinya sendiri, itu meruntuhkan semangat reformasi peradilan sebagaimana yang dimaksud oleh konstitusi," ujar salah satu anggota koalisi, M. Isnur, melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Jumat.

Isnur mengatakan dalam tataran praktis, prinsip itu sudah dimasukan dalam Prinsip Ketiga Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tentang Berperilaku Arif dan Bijaksana. 

"Prinsip itu kemudian diturunkan dalam poin ketiga yang berbunyi, 'hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut,'" tambah Isnur.

Isnur kemudian mengatakan bahwa koalisi menekankan hal tersebut, terkait dengan gugatan seorang hakim Pengadilan Tinggi Bangka Belitung ke PTUN, atas keputusan Pengumuman Hasil Seleksi administrasi Komisi Yudisial dengan tahun 2018 dengan nomor 07/PENG/PIM/RH.01.02/09/2018 dan keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Tahap Kedua (Kualitas) Calon Hakim Agung dengan Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.03/10 2018, yang pada intinya masih memasukan hakim non-karir sebagai calon hakim agung.

"Selain guggatan tersebut sudah tidak relevan, guggatan ini potensial akan membuat para hakim TUN melanggar prinsip utama peradilan itu," jelas Isnur.

Dalam kasus ini koalisi menilai, bahwa hakim TUN yang memeriksa secara tidak langsung punya kepentingan terhadap guggatan tersebut. 

"Pada titik ini, tentu saja para hakim yang memeriksa perkara tersebut melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana yang disampaikan di atas," pungkas Isnur.

Koalisi ini terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan pegiat hukum yaitu; PBHI, YLBHI, LBH Jakarta, Indonesia Corruption Watch, Institute Criminal Justice Reform, Indonesian Legal Roundtable dan Kode Inisiatif.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019