Indah, lestari, dan mengasyikkan bakal terucap ketika tiba dan berkeliling area Kurau Mangrove, lokasi pelestarian mangrove di Desa Kurau Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Di area tersebut, dijalankan konservasi mangrove di lahan seluas 213 haktare dengan berbagai jenis tanaman yang juga sering disebut pohon bakau itu.

Kawasan konservasi di wilayah Kecamatan Koba tersebut layak disebut indah karena tidak hanya menjadi lokasi pelestarian mangrove, melainkan ditata dan dilengkapi dengan berbagai sarana wisata alam.

Masyarakat yang berkunjung ke Kurau Mangrove terlebih dahulu akan diajak menikmati sensasi air dengan menaiki perahu menuju lokasi konservasi.

Dengan keterampilan yang mumpuni dan mengatur kecepatan perahu, pengemudi perahu akan membuat penumpangnya bersorak gembira menuju lokasi konservasi mangrove.

Lokasi tersebut dibenahi untuk melestarikan mangrove, sekaligus menjadi lokasi edukasi dalam pelestarian kawasan pinggiran pantai.

Dari informasi yang dicantumkan pengelola, ada 15 jenis mangrove yang dilestarikan di kawasan itu, yakni bakau jeruji (acanthus volubilis), bakau paku (acrostichum aureum), dan acrostichum speciosum.

Selain itu, mangrove jenis avicennia ianata, bruguieta sexanguia, excoaria agalloca, gymnantera paludosa, heritiera littoralis, lygodium microphyllum, nypa fruticans, osbornia actodonta, pogamia pinnata, rhizopora apiculata, rhizopora mucronata, dan sarcolobus giobusa.

Untuk meningkatkan kelestarian kawasan, area tersebut bukan hanya berisi mangrove, melainkan juga dihuni belasan species hewan, seperti burung, monyet, dan ular.

Sejumlah satwa itu, di antaranya burung pekaka emas (pelargopsis capensis cyanopteryx), udang punggung merah (ceyx rufidorsa), gajahan penggala (numenius phaeopus), caladi tilik (dendrocopos moluccencis), trinil pantai (actitis hypoleucos), kancilan bakau (pachycephala grisola cinerea), paok bakau (pitta megarhyncha), sikatan bakau (cyornis rufigastra rhizophorae), madu bakau (leptocoma calcostetha), dan cekakak merah (halycon coromanda minor).

Selain itu, ada ular sanca Batik (malayophyton reticulatus), ular cincin emas (boiga dendrophila), lutung kelabu (trachypithecus), dan bajing kelapa (callosciurus notatus).



Wisata Alam

Kurau Mangrove juga sangat layak untuk menjadi tujuan wisata, terutama wisata alam.

Di tempat itu, pengelola menyediakan sejumlah sarana yang dapat digunakan masyarakat untuk menikmati keindahan alam, sungai, dan hutan.

Keasyikan berwisata alam di tempat itu diawali dengan menaiki perahu yang dikemudikan dengan kecepatan yang diatur sehingga memberikan sensasi tersendiri bagi pengunjung.

Setelah tiba di lokasi konservasi, masyarakat dapat bersantai atau menikmati alam di sejumlah pondok, baik di atas sungai, di atas kolam, maupun pondok yang dibangun di pepohonan.

Selain itu juga disediakan sepeda yang dapat melintas di atas sungai. Untuk menjaga keselamatan, masyarakat atau pengunjung yang bermain sepeda tersebut diberikan pengamanan berupa helm dan sabuk yang dikaitkan ke kabel baja di atas lintasan sepeda.

Pengunjung juga dapat berkeliling dan memasuki hutan. Untuk menembus kawasan tersebut, telah dibangun jembatan terbuat dari kayu.

Selain menikmati "aroma hutan", pengunjung juga dapat mengabadikan kegiatannya itu, termasuk swafoto atau foto bersama dengan latar belakang hutan atau sungai yang mengalir.

Menurut keterangan sejumlah warga, proses rehabilitasi mangrove juga sedang dijalankan di bagian timur Kurau sehingga bakal menambah jumlah area yang dapat dijadikan lokasi ekowisata.



Keresahan

Keberadaan Kurau Mangrove berawal dari keresahan seorang putera daerah bernama Yasir yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Fakultas Kehutanan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pria yang kini berusia 39 tahun itu, mengaku resah ketika melihat tingginya tingkat sendimentasi kawasan mangrove di Kurau akibat aktivitas penambangan.

Penambangan yang telah berlangsung lama menyebabkan kawasan pantai penuh dengan lumpur. Lumpur banyak hanyut ke kawasan mangrove setelah dibawa air.

Pada 2004, Yasir yang dibantu rekan-rekannya dalam Generasi Muda Pecinta Alam mengajukan program rehabilitasi mangrove ke Kementerian Kehutanan.

Dengan konsep rehabilitasi mangrove yang dekat dengan lingkungan warga dan untuk edukasi dan ekowisata, pihaknya menawarkan program konservasi mangrove seluas 600 hektare.

Setelah melalui proses verifikasi, Kementerian Kehutanan memberikan izin rehabilitasi mangrove dengan luas 213 hektare.

Menurut Yasir, kawasan Kurau Mangrove memiliki sejumlah keunikan sehingga menarik dan layak menjadi lokasi kunjungan masyarakat yang ingin menikmati alam.

Selain kawasannya dekat dengan pemukiman masyarakat, Kurau Mangrove juga berbeda dengan mangrove di daerah lain yang umumnya dipenuhi air asin.

"Disini, airnya tidak asin, melainkan tawar dan payau," katnya.

Dengan keunikan tersebut, cukup banyak perguruan tinggi, termasuk peneliti dari luar negeri yang menjadikan Kurau Mangrove sebagai lokasi dan objek penelitian.

"Jumlah yang melakukan penelitian cukup banyak, jumlahnya saya lupa. Ada yang dari IPB, juga Unsri," ujar Yasir.



Ribuan orang

Menurut Tejo, salah seorang pengelola Kurau Mangrove, kawasan konservasi yang menjadi ekowisata tersebut dikunjungi ribuan orang setiap bulannya, terutama akhir pekan dan hari libur.

Dari perhitungan selama ini, setidaknya sekitar 35 ribu pengunjung setiap bulan.

"Pernah juga dalam sehari hingga 1.000 orang lebih," katanya.

Selain wisatawan lokal dan nasional, kawasan Kurau Mangrove juga telah didatangi wisatawan mancanegara dari sekitar 30 negara, di antaranya Turki, Malaysia, Tiongkok, Amerika Serikat, Brazil, dan Spanyol.

Ada juga peniliti dari Hong Kong dan Spanyol yang melakukan penelitian lingkungan dan hewan-hewan di kawasan Kurau Mangrove. Umumnya, mereka meneliti jenis-enis burung di kawasan itu.

"Di sini ada 100 lebih jenis burung," katanya.

Air di kawasan Kurau Mangrove cukup unik karena umumnya tawar. Airnya baru menjadi asin jika menerima air pasang dalam jumlah besar.

Setelah pasangnya surut, secara perlahan airnya menjadi payau. Setelah sekian lama, airnya menjadi tawar.

Karena pengaruh akar pepohonan yang cukup banyak di kawasan itu, air di Kurau Mangrove umumnya berwarna kecokelatan.

Sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian mangrove, pihaknya akan memberikan bibit mangrove secara gratis kepada siapa saja yang berminat menanam dan melakukan rehabilitasi mangrove.

"Dari mana pun yang minta bibit mangrove, kita kasih gratis asal jelas yang meminta dan  menjelaskan tujuannya," kata Tejo.

Dengan tujuan untuk kelestarian dan menjaga keindahan alam, tidak jarang kelompok masyarakat atau organisasi tertentu menginap di kawasan yang diresmikan Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Roman Djohan pada 27 Juli 2017 itu.

Mereka, di antaranya organisasi yang menggelar "out bound", termasuk anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dan Palang Merah Indonesia (PMI) yang memberikan kegiatan pelatihan kepada anggota.

Untuk memberikan penerangan pada malam hari, pengelola menyiapkan lampu yang menggunakan panel surya sehingga kawasan hutan itu tetap terang.

Untuk semakin menambah minat wisatawan, terutama yang menginap, pengeloa berencana membangun homestay di bagian muara Kurau Mangroe.

"Di sana, suasanya semakin asri. Kalau malam hari, selalu ada kunang-kunang," ujar Tejo.

Kurau Mangrove bakal semakin menarik dan semakin layak untuk dikunjungi, terutama peminat wisata alam.

Selain untuk berwisata, lokasi itu memang asyik untuk edukasi mangrove.*


Baca juga: Pengembangan ekowista mangrove Muaragembong jadi skala prioritas

Baca juga: Ajak anak TK, istri polisi menanam mangrove di Sangihe-Sulut


 

Pewarta: Irwan Arfa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019