Jakarta (ANTARA News) - Jakarta hari ini setidaknya menampung beban 30,2 juta manusia setiap harinya, selisih tujuh juta di bawah Tokyo. Dengan konsekuensi ini, transportasi publik massal yang mampu mengangkut manusia yang beraktivitas di Jakarta dari satu titik ke titik lainnya menjadi sebuah pertaruhan yang harus terus dipikirkan.

Sejak pemerintah Hindia Belanda transportasi publik massal telah digunakan, salah satunya adalah trem, bersanding dengan keberadaan delman yang jauh lebih dulu ada. Moda  transportasi ini menyajikan rangkaian gerbong yang berjalan di dalam kota.

Mengutip makalah "From horsepower to electrification Tramways in Batavia-Jakarta 1869 – 1962" karya peneliti Belanda Dirk Teeuwen di laman www.indonesia-dutchcolonialheritage.nl, trem pertama yang diresmikan pada 1869 dan masih menggunakan tenaga kuda. 

Selang 13 tahun setelahnya, barulah model trem uap keluar dan berganti dengan trem listrik pada 1899.

Di masanya, trem melayani empat rute dengan panjang jalur 40 kilometer yang dibagi dalam enam jalur. Saat masih dikuasai oleh Belanda, trem membagi gerbong penumpangnya pada tiga gerbong dengan gerbong terakhir diperuntukkan bagi pribumi yang umumnya hanya berbentuk gerbong terbuka tanpa atap atau dengan atap tapi tanpa sekat di samping kanan dan kirinya.
Petugas melakukan pengecekan kereta Mass Rapid Transit (MRT) di Stasiun Lebak Bulus, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Jelang peresmian MRT yang akan dilaksanakan pada Maret 2019 tersebut masyarakat dapat mencoba secara gratis moda transportasi itu mulai 27 Februari. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)


Trem bertahan hingga masa kemerdekaan sekaligus mengganti pengelolanya dari Batavia Verkeers-Maatschappij (BVM) ke Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) pada tahun 1957. Pada 1960, trem dihapus karena dianggap tak cocok lagi dengan Jakarta.

Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia Darmaningtyas mengatakan trem dihapus atas permintaan Presiden Soekarno karena dianggap umuh.

Padahal menurut Darmanigtyas keberadaan tram sebagai transportasi publik sangatlah efektif, namun citranya dianggap mengganggu pemandangan kota saat itu membuat keberadaannya tak lagi dianggap penting.  

"Saat itu juga kan belum terpikir bagaimana membenahi trem dan belum terpikir kalau pemilikan kendaraan bermotor akan masif. Sehingga ketika melihat trem lalu lalang dalam kondisi kumuh itu suruh menghapus," ucap dia.

Jayanya bus kota

Seiring waktu kehadiran trem pun digantikan dengan sejumlah transportasi massal yang ada kemudian. Di era kemerdekaan, transportasi publik di Jakarta semakin marak dengan kehadiran sejumlah kendaraan kecil yang beroperasi dengan jarak yang relatif pendek seperti oplet, bajaj, bemo, hingga angkot. Fenomena ini muncul di sekitar tahun 70-an dan bertahan di beberapa titik ibu kota sampai saat ini.

Salah satu yang paling populer ada Metromini, beberapa sumber menyebut Metromini pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh Gubernur DKI Jakarta, Soemarsono untuk kebutuhan transportasi peserta Pesta Olahraga Negara Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO) 1962.

Setelah pesta olahraga usai, moda transportasi yang awalnya dikenal dengan nama "bus merah" ini dilanjutkan oleh Gubernur Henk Ngantung pada tahun 1964 hingga punya naungan sendiri di bawah PT Metromini pada tahun 1976 yang didirikan bersamaan dengan Koperasi Angkutan Jakarta (Kopaja) atas instruksi Gubernur Ali Sadikin.

Metromini dan Kopaja lantas menjadi primadona baru dengan lebih dari 50 rute yang menjangkau seluruh Jakarta Raya. Tarif yang relatif murah menjadi alasan kenapa metromini dan Kopaja bisa menjadi pilihan publik untuk melanglang ibukota.

Pada tahun 1982 tercatat tarif Metromini sebesar Rp100 sementara pelajar dikenakan Rp25. Pada April 1996 tarif naik dari Rp300 menjadi Rp400 untuk umum, sementara pelajar Rp100, harga pelajar ini bertahan sejak tahun 1990 tidak dinaikkan. Pada tahun 2014 tarifnya menjadi Rp4000 untuk umum dan Rp2000 untuk pelajar. Pada tahun 2016 tarif turun menjadi Rp3800 kemudian Rp3500 untuk umum.

Bus tingkat mulai melaju di Jakarta sekira tahun 1968 dengan unit pabrikan Inggris, Leyland tipe Titan berkode PD3-11. Berdasarkan sejumlah sumber, bus tingkat ini melayani trayek Blok M-Salemba-Pasar Senen hingga 1982. Tahun 1983 tipe Titan diganti dengan Leyland Atlantea yang sudah diberi fitur pintu otomatis dan sistem power steering.
Baca juga: Integrasi Jak Lingko akan pakai biaya gabungan

Selain Leyland, pada dekade awal 1990 armada bus tingkat di Jakarta juga dipasok merek asal Swedia, yakni Volvo seri B55. Bus tingkat ini lebih panjang dan punya kapasitas penumpang lebih banyak dibanding bus tingkat Leyland Atlantea.

Selain melayani rute Blok M-Salemba-Pasar Senen, bus tingkat ini juga melayani Blok M-Kota dan rute-rute lain seperti Blok M-Kalideres, atau Harmoni-Pondok Kopi via Rawamangun dan Salemba. Namun, dua rute awal lebih banyak digandrungi dan paling bertahan hingga bus tingkat tak ada lagi di jalanan Jakarta.

Keberadaan bus tingkat dihentikan sekitar pertengahan 90-an karena kondisi armada yang sudah uzur dan meningkatnya kemacetan sehingga menyulitkan manuver bus tingkat.

Sementara bus tingkat mulai dihentikan, metromini dan kopaja yang masih menjadi raja jalanan bertemu pesaingnya pada 2004. Pesaing ini bernama Transjakarta.

Peneliti Pusat Penelitian Kebudayaan dan Masyarakat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliah menilai Metromini menjadi pilihan saat itu karena industri otomotif belum kuat seperti sekarang dan harga kendaraan pribadi masih sangat mahal.

"Metromini dahulu menjadi pilihan masyarakat, namun adanya oligarki kepemilikan individu dari angkutan transportasi massal tersebut sehingga tidak adanya proses perbaikian sedikit pun membuat lama kelamaan namanya meredup," kata dia.

Armadanya semakin uzur dimakan umur, ketidakpastian waktu karena seringnya sopir berhenti menunggu penumpang, rawan copet, hingga cara mengemudi sopir yang terkenal ugal-ugalan membuat penumpang banyak beralih ke Transjakarta.

Polda Metro Jaya mencatat, pada 2015, Metromini menjadi penyumbang 10 persen kecelakaan lalu lintas di Jakarta dari total 609 kasus. Sedangkan Kopaja menyumbang 41 kasus kecelakaan sepanjang 2015.

Situasi ini membuat sebagian besar metromini dan kopaja tereliminasi. Sejak 2016, proses eliminasi dilakukan menyasar bus yang usianya sudah lebih dari sepuluh tahun.

Yudi pun berpendapat jika tidak diantisipasi, Metromini akan hilang dari ingatan kolektif bagi banyak orang Jakarta.

“Sebenarnya sejak era Ahok sudah ada teguran dan ada upaya untuk melakukan penataan ulang dengan adanya pembelian armada bis baru. Rencananya akan dihubungkan dan dintegrasikan dengan sejumlah moda transportasi lain. Sampai sekarang memang belum ada niat sungguh-sungguh di bawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan untuk melanjutkan rencana kebijakan tersebut,” ucap dia.

Kini, Transjakarta menjadi salah satu bagian bagi mereka yang menghabiskan aktivitas hariannya di Jakarta. 

Mengadopsi sistem Bus Rapid Transit yang lebih dikenal sebagai busway, --yang memberikan jalan khusus angkutan bus-- Transjakarta dirancang sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas ibu kota yang sangat padat .
Baca juga: Delapan halte TransJakarta terintegrasi dengan MRT-LRT-KRL

Mengutip Statistik Transportasi DKI Jakarta yang dirilis Badan Pusat Statistik tahun 2016, PT Transportasi Jakarta --yang mengelola Transjakarta-- dari tahun ke tahun terus menambah rute sehingga jangkauannya mampu menembus provinsi dan kota lain yang menyangga Jakarta terutama Bekasi, Bogor, Depok di Jawa Barat dan Tangerang di Banten.

Sampai 2016 ada 12 koridor dengan beragam rute di setiap koridornya dan sistem pembayaran yang menggunakan e-ticket seharga Rp 3500, berbeda dengan pendahulunya yang masih menggunakan sistem bayar di muka.

Dalam waktu kurang dari 15 tahun, Transjakarta mulai merontokkan kepongahan Metromini dan Kopaja yang sempat jaya di jalanan Jakarta hampir lebih dari tiga dekade.

Dengan rute yang terus berkembang dan kenyamanan yang mengungguli 'abangnya' seperti ketersediaan AC, keamanan yang relatif terjaga, dan jam operasional yang 24 jam di beberapa koridor membuat keberadaan Transjakarta semakin diminati.

Kini warga Jakarta tengah bersiap meramaikan transportasi MRT, yang di fase pertama ini diperkirakan dapat memindahkan 175 ribu orang per hari. MRT disebut-sebut membangun budaya baru dalam berkendaraan umum, seperti mengedepankan budaya antre.
Baca juga: Cepat dan nyaman, MRT untuk masyarakat Jakarta yang lebih dinamis



Budaya baru 

Sejak adanya reformasi KRL, masyarakat sebetulnya sudah tak canggung lagi dengan transportasi publik yang mengedepankan budaya antre, berjalan sesuai aturan saat pintu masuk dan keluar. 

Sebelumnya, adanya Transjakarta itu juga menciptakan pra-kondisi kesiapan masyarakat untuk menerima transportasi massal saat ini.  

Namun, menurut Wahyudi lamanya proses pembangunan MRT, dan kehadiran ojek daring dapat mengubah proses adaptasi itu. 

“Karena karakter ojek online, sangat memanjakan masyarakt Indonesia yang malas untuk berjalan, yang sebelumnya sudah didukung industri otomotif seperti banyaknya dan murahnya harga sepeda motor,” kata Yudi.

Kehadiran MRT kemudian akan memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk menimbang nilai kepraktisan dan ekonomisnya sekaligus. 

Yudi menilai pada saatnya akan terjadi tarik-menarik antara ojek online dan MRT yang akan membentuk kebiasaan sendiri. 

“Meskipun dalam beberapa hal, turut saling menguatkan, karena di setiap stasiun penghubung memerlukan ojek online juga yang seringkali tidak bisa dijangkau oleh MRT karena persoalan arah dan jalur MRT itu sendiri,” ucap dia.

Wahyudi menyebut masyarakat ibukota selama ini memang mudah sekali beradaptasi dengan transportasi massal.

Baca juga: Hikayat kereta bawah tanah dari London hingga Jakarta

Meski demikian, yang harus diperhatikan dalam mengembangkan transportasi massal adalah harga ongkos yang murah, insentif bagi yang menggunakan transportasi massal, dan menciptakan infrastruktur yang mendukung kenyamanan dalam menggunakan transportasi massal. 

“Lebih jauh lagi dibatasi juga pembelian untuk produksi industri otomotif. Cuma memang, harus diakui, industri otomotif kita terlalu kokoh untuk diganggu,” ucap dia.

Pertimbangan pragmatisme ekonomi ini harus dilihat juga ketika hendak meluncurkan MRT.  Apabila nanti MRT jauh lebih murah dan sekaligus jauh lebih cepat, masyarakat akan memilih itu.

“Jikalaupun jaraknya agak jauh, biasanya bisa disiasati jalan kaki atau dengan sepeda lipat. Pertanyaannya, sejauh mana LRT itu bisa dijangkau secara ekonomi dari pelbagai kalangan kelas di Jakarta? Jika terlalu mahal, mereka akan kembali menggunakan transportasi pribadi,” ucap dia.
Baca juga: Dubes Italia sebut MRT Jakarta sebagai pencapaian luar biasa


Integrasi transportasi publik

Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia, Darmaningtyas mengatakan MRT hendaknya bisa terhubung dengan angkutan massal yang sudah lebih dulu ada seperti Trans Jakarta.

Misalnya ketika stasiun terakhir MRT ada di Bundaran Hotel Indonesia, maka harusnya ada bus pengumpan untuk mengangkut perjalanan penumpang ke tujuan berikutnya.

"Saat ini karena masih tanggung jalurnya mungkin sifatnya sementara tapi bisa berlanjut kalau terintegrasi dengan busway. Sehingga orang turun dari MRT pindah ke bus dengan aman dan itu mestinya gratis. Menggunakan bus yang pijakannya rendah seperti yang di Bundaran Senayan dan Harmoni," kata Darmaningtyas.

Dia pun mengusulkan Transjakarta Koridor I yang sudah duluan ada di atas jalur MRT saat ini hendaknya tidak dihapuskan sebagaimana wacana yang berkembang.

Karena Darmaningtyas menilai, keberadaan bus di koridor I justru menjadi pelengkap MRT yang bertugas sebagai bus pengumpan sebelum ada bus berpijakan rendah di area itu.

"Jadi tergantung integrasinya tadi, kalau bagus akan efektif, karena orang sebenarnya sudah malas bawa kendaraan sendiri. Tetapi kalau integrasinya buruk maka enggak akan efektif itu," ucap dia.

Mengenai keberadaan MRT yang dikhawatirkan akan menggerus transportasi publik lain seperti Ojek Daring, Darmaningtyas menilai hal itu adalah dua kutub yang berbeda.

Menurutnya, MRT menawarkan kenyamanan dan keselamatan, sementara Ojek Daring menawarkan kecepatan.

"Kecuali kalau semuanya bisa ditawarkan oleh transportasi umum maka orang akan meninggalkan Ojek online. Tarif Rp10.000 juga relatif lah untuk kelas menengah asalkan ketika melanjutkan naik Trans Jakarta sudah enggak bayar lagi," ucap dia.
Baca juga: Tarif MRT Rp8.500 dinilai masih batas kewajaran


Cermin Peradaban

Darmaningtyas pun memaparkan korelasi antara tertibnya lalu lintas dengan peradaban sebuah kota. Menurut dia, contoh paling mudah adalah negara tetangga Singapura. Dengan transportasi yang relatif sudah lebih maju dibanding negara tetangganya, Singapura memiliki tabiat masyarakat yang cenderung baik.

"Enggak ada mendengar orang klakson-klakson. Tetapi di Indonesia ini, kendaraan di depan kita berhenti dikit sudah klakson. Itu contoh bagaimana lalu lintas menjadi cermin dari peradaban suatu kota. Kalau semrawut berarti peradaban kita semrawut," kata dia.

Meski demikian, Darmaningtyas juga memuji sejumlah kota yang menurutnya punya usaha baik untuk mewujudkan lalu lintas yang lebih ramah. Dari angkutan umum memang belum banyak, tapi dari perbaikan trotoar, diakuinya sudah banyak kota yang berbenah.

"Sekarang untuk pedestrian juga relatif bagus. Dibanding lima tahun lalu, dulu trotoar estetika saja. Sekarang misalnya Surabaya, sebagian Semarang, sebagian Jogja sudah punya trortoar bagus. Angkutan umumnya yang belum," ucap Darmaningtyas lagi.

Dia tak menampik kalau untuk menyadarkan publik pada pentingnya transportasi massal juga bukan perkara mudah. Menurutnya, di Indonesia kepemilikan angkutan pribadi tergolong mudah. Hal ini terlihat lewat tarifnya yang murah, BBM yang terjangkau, hingga toleransi untuk yang melanggar.

"Coba BBM dinaikkin, tarif parkir, tol mahal, kalau salah didenda, itu akan membuat orang hati-hati. Harusnya begitu," ucap dia.
Baca juga: Harapan mengurangi polusi Ibu Kota dengan MRT
Baca juga: MRT hadir, yuk kurangi polusi atau tanggung penyakitnya sendiri



 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019