Jakarta  (ANTARA News) - Masyarakat Jakarta pada Maret 2019, segera menikmati bagaimana Moda Raya Terpadu (MRT) dengan kereta Ratangga-nya, menyusuri rel layang dan juga rel bawah tanah yang merupakan pertama kali ada di Indonesia.

Memiliki kecepatan maksimal hingga 100 km/jam, Ratangga yang dalam bahasa Sanskerta berarti kereta perang ini, disebut bisa menjadi salah satu solusi mengatasi kemacetan Jakarta.

Transportasi yang memiliki daya angkut hingga 2.000 orang dalam satu rangkaian kereta (enam gerbong) ini, menawarkan kecepatan waktu tempuh hanya sekitar 30 menit untuk menempuh jalur Lebak Bulus-Bundaran HI sejauh 16 kilometer, memotong waktu perjalanan secara signifikan 1-2 jam saat jam sibuk.

Dengan interval waktu tunggu sekitar lima menit antar rangkaian kereta, terjangkaunya harga tiket (usulan PT MRT Jakarta: Rp8.500 per 10 km), kenyamanan yang akan diberikan dan jangkauan ke titik strategis di Jalan Sudirman-Thamrin, MRT Jakarta akan menjadi salah satu objek pengubah pola perpindahan masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi massal.
Tanda peringatan untuk penumpang terpasang di pintu kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta fase I koridor Lebak Bulus - Bundaran HI saat diuji coba di Jakarta, Kamis (7/2/2019). Transportasi massal berbasis rel itu rencananya akan terintegrasi dengan moda lainnya seperti LRT dan KRL Commuterline agar memudahkan masyarakat mengakses dan menggunakan transportasi umum. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Selain itu, MRT juga menjadi simbol transportasi modern baru di Indonesia dengan memiliki teknologi yang mungkin beberapa di antaranya baru diterapkan di Indonesia.

Beberapa teknologi yang ada itu, antara lain sistem pembayaran menggunakan kartu akses uang elektronik, sistem pintu otomatis (672 unit) dengan pintu darurat (168 unit), serta yang terbaru adalah sistem operasi kereta yang digerakan secara terpusat di pusat komando Lebak Bulus.

MRT diklaim memiliki konstruksi tahan gempa hingga kekuatan 8 skala richter, jalur dan fasilitas MRT yang di bawah tanah, diklaim anti banjir dan tidak mungkin bisa menggenangi terowongan bawah tanah jalur MRT dengan adanya saluran khusus yang dirancang bisa membuang genangan air di terowongan itu.

"Penggunaan teknologi tersebut diharapkan mampu mewujudkan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat," kata Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar.
Petugas berada di dalam kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta rute Bundaran HI-Lebak Bulus di Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Senin (10/12/2018). MRT Jakarta fase I rute Bunderan HI-Lebak Bulus yang ditargetkan beroperasi pada Maret 2019 itu akan terintegrasi dengan moda transportasi lainnya seperti Bus Transjakarta dan KRL Commuter Line. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/kye.
Menjadi Obvitnas

Dengan teknologi yang dimiliki dan statusnya sebagai Proyek Strategis Nasional, seluruh fasilitas MRT diminta untuk masuk sebagai objek vital nasional (obvitnas)  pada Kementerian Perhubungan.

Alasannya, selain karena kasus vandalisme pencoretan grafiti pada badan kereta Ratangga yang sedang diparkir di Depo MRT Lebak Bulus yang seharusnya kawasan akses terbatas, juga karena jalur MRT ini nantinya masuk ke ring I negara.

Jalur MRT selain melintasi Sudirman-Thamrin, juga direncanakan masuk ke Medan Merdeka Barat (kawasan Monas), sehingga meningkatkan kerentanan menjadi sasaran terorisme pada negara.

Belum lagi beberapa kali Indonesia ditimpa tragedi terorisme, bahkan ada di antaranya terjadi di kawasan Sarinah yang bisa dibilang sebagai kawasan ring I yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan.

"Dengan adanya peristiwa yang telah terjadi dan berpotensi terjadi, adalah momentum untuk meningkatkan pengawasan dan keamanan fasilitas MRT Jakarta," kata William.
Deretan kereta MRT Jakarta di stasiun Lebak Bulus. (Antara News/Aji Cakti)


Lebih dari itu, permintaan diajukannya MRT sebagai obvitnas, karena sistem operasional MRT dan daya okupansi yang diprediksi minimal bisa mengangkut 130 ribu orang saat beroperasi yang dimulai pada Maret 2019.

Karenanya MRT meminta fasilitas seperti Depo Lebak Bulus, 13 stasiun MRT fase I, gardu listrik (Receiving Sub-station) di Taman Sambas Blok M, area transisi jalur layang ke jalur bawah tanah, suar penyejuk (cooling tower) dan suar ventilasi (ventilation tower), menjadi objek vital nasional.

"Itu adalah titik-titik vital yang tidak bisa dijaga oleh PT MRT Jakarta sendirian. Karena MRT ada untuk kepentingan nasional, Jadi kami meminta agar dijaga oleh negara. Menjadi tanggung jawab negara. Kami meminta dukungan pemerintah untuk menjaga objek tersebut," ujarnya.
Bersama jaga keamanan

MRT yang memiliki potensi sabotase hingga membahayakan pelaju yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu orang itu per hari, membutuhkan aturan dan ketetapan standar prosedur keamanan yang ekstra.

Sebagai langkah antisipasi berbagai potensi bahaya, PT MRT Jakarta menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) dan Kodam Jaya.

Nota kesepahaman yang terjalin meliputi standar informasi, pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk pengamanan, pengelolaan sistem pengamanan yang berlaku selama lima tahun sejak penandatangan kerja sama dilakukan.

Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya dianggap pihak MRT, mengetahui karakteristik lokasi yang rawan dan titik strategis sehingga memiliki sistem pengamanan yang dilakukan tepat sasaran.

"Ini dilakukan guna menjaga kegiatan penumpang dan mengatasi potensi hambatan dan bahaya yang terjadi," ucapnya.

Di pihak lain, Direktorat Pengamanan Objek Vital Polda Metro Jaya menyebut sedang mempelajari lebih dalam sistem pengamanan di area fasilitas MRT apakah dengan menempatkan personel di pos yang didirikan, atau dengan sistem petugas mobile yang siap berpatroli.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono menjelaskan pengamanan MRT Jakarta akan dirumuskan berdasarkan regulasi yang ada, termasuk lokasi pengamanan dan standar pengamanan penumpang.

"Saat ini masih dikoordinasikan. Kalau nanti sudah jadi bentuk fisiknya dan ada MoU tentang pengamanan, bisa lebih jelas," ucap Argo.

Selain Polda Metro Jaya, PT MRT Jakarta juga bekerja sama dengan Kodam Jaya untuk pengamanan operasional dan konstruksi transportasi massal tersebut, terutama ketika berada di jalur yang masuk ke Ring I.

Jalur yang masuk ke Ring I itu, akan berada pada pembangunan koridor I (Selatan-Utara) di fase II antara Bundaran HI ke Kota Tua, yang membutuhkan bantuan pengamanan dari unsur TNI.

"Kami berkomitmen untuk membantu pengamanan pembangunan fasilitas nasional termasuk pengamanan masyarakat secara luas," ujar Pangdam Jaya Mayjen Joni Supriyanto.

MRT  sebagai simbol baru transportasi modern sudah hadir untuk menjadi "peluru" baru transportasi ibu kota, menambah kekuatan KRL dan Transjakarta.

Selain memecahkan persoalan kemacetan di Jakarta serta meningkatkan produktifitas masyarakat Jakarta dan sekitarnya, MRT yang ternyata memiliki potensi-potensi untuk membahayakan masyarakat, harus menjadi perhatian serius bagi negara sebagai jaminan perlindungan dari negara seperti yang diamanatkan undang-undang.
Baca juga: MRT hadir, yuk kurangi polusi atau tanggung penyakitnya sendiri
Baca juga: Atasi macet, Dubes Jepang harapkan MRT membuat warga Jakarta lebih bahagia
Baca juga: Memulai peradaban baru dengan MRT
Baca juga: Hikayat kereta bawah tanah dari London hingga Jakarta

 


 

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019