Berbagai perbincangan yang mewarnai narasi menjelang Pemilihan Presiden 2019 tampaknya akan memperkaya khazanah pemikiran dalam sejarah politik di Tanah Air.

Beragam wacana itu, yang diekspresikan dalam berbagai ungkapan, baik di media massa maupun media sosial, tentu dapat dipandang sebagai data raksasa yang bisa dijadikan lahan penelitian bagi ilmuwan politik.

Salah satu wacana yang cukup signifikan diperbincangan, bahkan dijadikan subjek kampanye, termasuk yang negatif dan hitam, adalah perihal kesalehan pemimpin publik, dalam hal ini elite politik yang terlibat dalam rivalitas merebut kursi kekuasaan kepresidenan.

Sebelum masuk ke poin tentang relasi kesalehan dan pemimpin publik, di sini perlu ditegaskan bahwa pada prinsipnya dalam sistem demokrasi yang banyak diaplikasikan di negara-negara maju, kesalehan ritual religius tak diperhitungkan. Itu sebabnya, seorang pemimpin publik idealnya tak ditakar kualitas pribadinya dalam konteks kesalehan yang sektarian.

Namun, kesalehan dalam arti yang berpengaruh positif bagi kebaikan bersama atau apa yang biasa disebut sebagai kesalehan sosial, demokrasi masih memberi ruang untuk mengusungnya sebagai variabel dalam percaturan perebutan kekuasaan.

Namun, apa yang ideal, sering tak berjalan sejajar dengan apa yang terjadi dalam realitas keseharian. Apalagi dalam realitas politik di negara-negara yang masih berjuang untuk memantapkan tradisi demokrasinya, termasuk di Indonesia, fenomena jauh dari ideal itu masih sering ditemui.

Sepanjang kontes menuju pencoblosan 17 April 2019, wacana yang mucul di ruang publik, yang juga menjadi bagian dari isu kampanye, yang menyangkut isu kesalehan ritual capres berulang kali digulirkan.

Kalangan warganet mempersoalkan kualitas keagamaan capres, mempertanyakan kemampuannya membaca teks Al Quran, menjadi imam dalam shalat, keteraturannya dalam menunaikan shalat Jumat. Mewacanakan hal-hal yang tak menjadi bagian dari isi konstitusi ini tentu merupakan kemunduran dalam konteks demokrasi yang aturan-aturannya bersifat inklusif, berlaku bagi seluruh warga negara dari agama apa pun.

Isu yang menyangkut kualifikasi keberagamaan individual, dalam hal ini para capres, sebetulnya bisa diminimalisasi jika kedua kubu kandidat capres, baik petahana maupun penantang, sepakat untuk memberantasnya, terutama di lingkungan simpatisan atau pendukung internal mereka.

Munculnya isu yang sering menjadi amunisi menyerang lawan politik, dengan mengangkat masalah yang berkaitan dengan kualitas keberimanan kandidat, selalu simetris. Artinya, baik kubu petahana maupun penantang, pernah merasakan pukulan mematikan itu, yang dilakukan oleh masing-masing kubu lawan.

Sebetulnya, hal itu tak perlu terjadi jika ada semacam satuan tugas (satgas) bersama dari kedua kubu untuk memadamkan wacana yang dilontarkan terkait dengan usaha mempersoalkan kualitas keberimanan para capres itu.

Para elite parpol, seperti para sekretaris jenderal parpol, agaknya perlu bekerja sama untuk secara sinergis mengajak kader dan simpatisan mereka untuk menghindarkan munculnya wacana negatif tersebut.

Sayangnya yang terjadi selama ini adalah bahwa masing-masing sekjen parpol lebih banyak menjadi pemadam atas api yang dikobarkan oleh kubu lawan, yang melontarkan isu-isu yang berkaitan dengan kualitas keimanan capres.

Harus diakui bahwa demokrasi di Tanah Air menjelang Pilpres 2019 ini, khususnya di masyarakat urban, sudah melewati problem politik uang namun belum keluar dari jebakan problem politik identitas yang sektarian.

Mewacanakan kesalehan pemimpin publik memang penting bagi demokrasi, namun kesalehan yang ditoleransi adalah kesalehan sosial, bukan yang ritual.

Kesalehan sosial sebenarnya setara dengan moralitas universal, yang diakui oleh agama apa pun, yang dengan demikian tak sektarian. Ketika seorang capres dikampanyekan dengan citra dermawan, lebih mementingkan segmen masyarakat yang berkekurangan, mau mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompok oligarkhisnya demi kepentingan warga marginal, saat itulah kesalehan sosial sang capres diwacanakan di ruang publik.

Dalam sejarah pemilihan umum di Amerika, kemenangan Barrack Obama melawan rivalnya John McCain pada 2008 antara lain didukung oleh banyaknya kampanye tentang kesalehan sosial, yang sengaja disebarkan tim pendukungnya. Masa muda Obama yang giat dalam kegiatan sosial, yang tentu beririsan dengan nilai-nilai kesalehan pegiatnya, banyak diekspose sebagai bagian dari materi kampanye untuk mencitrakan kesalehan sosial mantan presiden yang pernah dibesarkan di kawasan Menteng, Jakarta itu.

Dalam konteks Pilpres 2019, baik petahana maupun penantang pasti punya pengalaman hidup masing-masing yang bisa diungkapkan untuk mendukung kualitas kesalehan sosial mereka.

Aspek kesalehan sosial itulah yang kurang tersebar sehingga dikenal luas oleh publik. Yang terjadi justru masing-masing kubu menghabiskan waktu untuk menangkis berbagai isu negatif yang menyerang mereka.

Kesalehan sosial pemimpin publik bisa juga dideteksi lewat visinya tentang usaha memajukan bangsa yang beragam etnik dan agama ini. Visi yang layak dimiliki oleh pemimpin publik ini, pada awal dekade 80, pernah dikemukakan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo (kala itu) Goenawan Mohamad dalam menjawab pertanyaan sineas Arifin C. Noer.

Kurang lebih saat itu Arifin bertanya apa yang akan dilakukan Goenawan jika pada saat yang sama datang dua orang yang sama-sama minta dana sumbangan pembangunan rumah ibadah, yang seorang dari kalangan Muslim, yang lainnya dari kelompok Nasrani.

Apa jawab GM, panggilan populer esais yang juga penyair itu? Saya akan memberi pertama-tama kepada yang paling membutuhkan.

Baca juga: Pengamat: Pilpres harus bebas isu politisasi agama
Baca juga: Politikus diingatkan tidak gunakan isu SARA untuk menarik simpati masyarakat

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019