Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara BUMN, Sofyan Djalil, terkait dengan pernyataannya terhadap Bank Tabungan Negara (BTN) dianggap telah masuk dalam jebakan konspirasi global yang diskenariokan jaringan korporasi dunia. "Saya mendengar sendiri dari sumber di kalangan perbankan bahwa dia sudah masuk perangkap," kata pengamat properti Panangian Simanungkalit di Jakarta, Kamis, sehubungan pernyataan Meneg BUMN yang akan melakukan beauty contest terhadap bank yang akan mengakuisisi BTN. Pernyataan ini jelas bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya untuk menjadikan BTN sebagai bank yang berdiri sendiri serta fokus di bidang perumahan. "Seharusnya sebagai Menteri Negara BUMN baru mempersiapkan road map dari seluruh BUMN di Indonesia, namun mengapa dia tiba-tiba menjadi sangat perhatian terhadap BTN," kata Panangian. Padahal, kata Panangian, BTN memiliki kinerja yang sangat bagus di atas bank-bank BUMN lainnya, tetapi kenapa kemudian dikutak-katik seolah-olah bank ini memiliki persoalan. Apabila kesenjangan pendanaan (mismatch) yang dipakai sebagai alasan, maka jelas hal tersebut dicari-cari, kata Panangian. Justru sejak tahun 1976 BTN berkiprah membiayai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tetapi tidak pernah mengalami mismatch sampai saat ini. Meneg BUMN seharusnya memahami adanya misi negara di balik lahirnya BTN tahun 1976, yakni membiayai rumah bagi masyrakat berpendapatan rendah (MBR). Bahkan boleh dibilang BTN selama ini memonopoli 98 persen pasar KPR bagi menengah ke bawah. "Belum lagi dari sisi sosial Bank BTN telah terbukti berhasil merumahkan 12,5 juta orang atau 2,5 juta KPR," kata Panangian. Kemudian, apabila dilihat dari kinerja keuangannya dalam 31 tahun terakhir BTN justru dinilai paling bagus, apalagi jika dibandingkan Bank BUMN lainnya. "Coba saja dilihat dari rasio kredit macet (NPL), hanya BTN yang mampu di bawah 5 persen, sementara Bank BUMN lainnya di atas lima persen. Panangian mengemukakan apabila pemerintah tetap konsisten ingin membangun rumah rakyat, maka sudah selayaknya BTN tetap dibiarkan berdiri sendiri seperti halnya di India, Korea, dan Thailand. "Kita harus mengingat pekerjaan rumah pemerintah masih banyak, ada sekitar 6 juta masyarakat Indonesia yang masih tinggal di rumah yang tidak layak huni," ujarnya. Dengan demikian pemerintah jangan melihat Bank BTN sebagai produk bisnis semata-mata, tetapi juga harus melihat misi sosial di dalamnya, kata Panangian. Panangian mengingatkan apabila BTN sampai diambil bank lain, apabila negara mengalami gejolak ekonomi, maka dipastikan bank yang mengambil alih akan menghapus anak perusahaannya. Dirinya menyatakan sependapat dengan bankir tersebut bahwa rencana pengambilalihan BTN itu ada unsur jaringan korporasi internasional di belakangnya," ujarnya. Bahkan anggapan pemerintah tetap dapat mengambil peranan (golden share) sekalipun saham itu sudah beralih ke luar negeri, prakteknya tetap pemegang saham mayoritas yang menentukan kebijakan perusahaan. "Kita seharusnya belajar dari BUMN-BUMN yang sudah berpindah tangan kepada asing, apakah bisa dibeli lagi," ujar Panangian mempertanyakan. Seharusnya Meneg BUMN sekarang ini memiliki konsep yang jelas mau dikemanakan BUMN kita, bukan lantas tidak ada angin atau hujan bicara soal akuisisi BTN yang tidak ada kaitannya apa-apa. (*)

Copyright © ANTARA 2007