Jakarta (ANTARA) -
Kaset pita pernah begitu populer di Indonesia pada era 1960an hingga 2000an, namun seiring berjalannya waktu, serta perkembangan teknologi digital membuat keberadaannya tergusur oleh CD dan layanan musik streaming.
 
Meski demikian, ternyata masih ada penikmat musik yang mencari kaset pita dari musisi idolanya. Hal ini diakui oleh pedagang kaset pita bekas di kawasan Jalan Surabaya, Jakarta Pusat.
 
Di lokasi ini para penikmat musik bisa mencari rilisan fisik album lagu mulai dari CD, piringan hitam, dan kaset pita. Ini juga yang membuat bisnis sejumlah pedagang di kawasan ini bisa tetap bertahan sampai sekarang.
 
Taufik Hidayat, salah satu pedagang kaset pita bekas di Jalan Surabaya mengatakan minat masyarakat terhadap kaset pita masih tinggi. Dia mengaku bisa menjual hingga 10 kaset pita per hari.
 
"Pembeli yang datang ke sini kebanyakan anak muda, tapi juga ada yang dewasa. Biasanya mereka cari lagu dari band lama," ujarnya saat ditemui Antara, Kamis.
Album kaset band AC/DC di salah satu kios di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat (ANTARA News/Yogi Rachman)
Harga kaset pita bekas ini pun menurutnya beragam, mulai dari Rp10.000 hingga ratusan ribu rupiah tergantung dari kelangkaan album pada kaset pita. Album musik band lawas, seperti Duo Kribo, SuperKid, hingga SAS Group misalnya bisa dijual dengan harga Rp150.000 sampai Rp200.000 per kaset.
 
Perkembangan media sosial juga dimanfaatkannya untuk menjual kaset-kaset lagu secara online.
 
Pedagang kaset pita bekas lain di Jalan Surabaya, Rifai, mengatakan faktor nostalgia menjadi salah satu yang mendorong masyarakat untuk kembali membeli kaset pita bekas.
 
"Masih banyak yang membeli kaset pita. Selain untuk nostalgia, terkadang juga untuk koleksi," kata Rifai yang sudah tiga tahun berjualan di Jalan Surabaya.
 
Keinginan memiliki rilisan fisik dari album musisi idola ini juga yang mendorong Fikri (28) untuk mencari kaset-kaset pita. Pria yang bekerja sebagai karyawan swasta ini mengaku menemukan perbedaan saat mendengar lagu dari kaset pita dan digital.
 
"Menurut gue, beda aja gitu dengerin lagu di kaset sama digital. Kalau dengerin lagu di kaset, gua bisa lihat lirik, thanks to di cover. Unik aja sih. Bakal jadi harta karun juga," ucapnya.
 
Fikri mengaku memiliki banyak koleksi kaset-kaset pita di rumahnya. Album musik dari band era 1990an menjadi incarannya saat berburu kaset pita.
 
"Gua suka cari kaset Indonesia 1990an. Kebanyakan sih band-band atau penyanyi dari Potlot, kayak Slank, Kidnap, Katrina, Boomerang, Flowers, Scope dan lainnya," jelas Fikri.

Kaset pita dan Efek Rumah Kaca
 
Meski sudah tidak banyak, namun beberapa musisi dalam negeri masih mengeluarkan rilisan fisik dalam format kaset pita, salah satunya adalah grup band indie Efek Rumah Kaca.
 
Grup yang kini beranggotakan Cholil Mahmud (vokal), Poppie Airil (bass), dan Akbar (drum) ini terakhir kali merilis kaset pita untuk album bertajuk "Purwaswara" pada tahun 2018 lalu.
 
"Memang dari kecil sampai remaja Efek Rumah Kaca sudah dekat sekali dengan kaset. Kita juga mau coba semua medium tak hanya rilis vinyl," kata Poppie Airil kepada Antara.
 
Menurut Poppie, suara yang dihasilkan kaset pita memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan rilisan dalam format digital. Dia juga mengatakan merilis kaset pita di zaman sekarang tidak terlalu sulit. Masih banyak vendor yang bisa memproduksi kaset pita dengan kualitas yang baik.
 
"Memang tidak sesulit itu ternyata. Lokananta saja masih berjalan, dia juga banyak tertolong karena pembuatan kaset," ungkapnya.
 
Bagi Efek Rumah Kaca dan musisi lain yang masih merilis album dalam bentuk kaset pita untuk mengejar nilai eksklusivitas. Wajar jika jumlah album dalam bentuk kaset pita yang dikeluarkan tidak terlalu banyak.
 
"Kalau mediumnya kaset mereka memang kejar eksklusif. Untuk lebih masif bisa dari CD atau digital," terangnya.
 
Namun hal ini juga yang menjadi "bumerang" bagi Efek Rumah Kaca. Akibat jumlah kaset pita yang dirilis sedikit, namun peminatnya tinggi sehingga menjadi celah bagi oknum yang mencoba mengambil untung dengan menjualnya kembali dengan harga tinggi dibandingkan pertama dirilis.
 
"Kami sedikit menyesal bukan karena mengeluarkan kasetnya, tapi di pasarannya ada penimbunan dan ada yang jual dengan harga tinggi karena jumlahnya terbatas," ucapnya.
 
Untuk menyiasati harga jual tinggi di pasaran, Efek Rumah Kaca pun secara berkala merilis ulang "Purwaswara" untuk para penggemar yang belum sempat memiliki album tersebut.
 
"Kami bikin ulang karena tahu kok harganya mahal banget. Kami bedakan dari desainnya di cover sedikit. Itu untuk menjaga supaya tidak mahal. Jadi kami selalu cetak kalau habis dicetak lagi. Sebenarnya untuk menjaga harganya," tutupnya.




(Penulis: Peserta Susdape XIX/Yogi Rachman)

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2019