Sayang, telurnya pecah karena terlambat ditemukan petugas
Palu, (ANTARA News) - Penangkaran burung maleo milik PT  DSLNG yang dikelola bersama BKSDA Sulteng dan Universitas Tadulako Palu akhirnya berhasil membuat burung endemik Pulau Sulawesi bernama latin "macrocephalon maleo" itu sempat bertelur.

Hal itu diungkapkan Dr Ir. Mobius Tanari MP, peneliti satwa endemik maleo dari Universitas Tadulako yang mengelola penangkaran PT  DSLNG di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa dari 16 ekor burung maleo dewasa yang ada di penangkaran itu, pernah ditemukan satu di antaranya bertelur. "Sayang, telurnya pecah karena terlambat ditemukan petugas," katanya.

Meski begitu, ditemukannya maleo bertelur di penangkaran merupakan satu pertanda baik. Sebab selama ini maleo dewasa tersebut baru sekali bertelur dan belum diketahui apa penyebab mereka susah bertelur di penangkaran.

"Semua masih kita pelajari, apakah itu karena faktor lokasi atau asupan protein yang menjadi kebutuhan dari maleo sendiri," katanya.

Kabar baik lainnya yang disampaikan Mobius Tanari, yakni para peneliti telah berhasil menemukan perbedaan dari maleo jantan dan maleo betina. Perbedaan jenis kelamin maleo ini terlihat dari bentuk tubuhnya, yang betina menonjol simetris dengan leher tetapi yang jantan menonjol dan agak melebar.

Ia menjelaskan, saat akan kawin, maleo jantan dan betina sama-sama mengeluarkan suara khasnya. Kemudian maleo jantan mengais pasir secara cepat sambil berputar mengelilingi maleo betina. Selang beberapa saat, maleo betina akan duduk tegak, kemudian maleo jantan naik ke atas punggung betina dan secara cepat jatuh ke kanan saat terjadi perkawinan.

"Duduk tegak maleo jantan naik ke punggung betinanya dan memegang leher betina dengan paruh lalu terjadilah perkawinan," katanya.

Terkait kemungkinan maleo akan diternakkan seperti unggas lainnya, ia mengaku belum bisa dipastikan meski sudah ada maleo yang bertelur di penangkaran.

Ia mengatakan, pihaknya masih terus mempelajari berbagai hal dan kelakuan dari maleo yang ada di penangkaran, sebagai tambahan materi penelitian.

Ia juga mengaku masih mempelajari terkait komposisi atau presentase kebutuhan protein dan energi, baik kebutuhan hidup pokok atau saat masuk fase reproduksi maleo tersebut.

"Kalau untuk diternakkan mungkin masih butuh waktu yang panjang, karena masih rawan punah. Pasnya mungkin bahwa satu ketika maleo bisa didomestikasi," katanya.

Domestikasi ialah pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti sederhana, domestikasi merupakan proses penjinakan yang dilakukan terhadap hewan liar.

"Mungkin pasnya bukan diternakkan tapi didomestikasi," katanya.

Selain di penangkaran PT. DSLNG, pihaknya juga mengelola penangkaran maleo di PT. Panca Amarah Utama.

"Ada dua tempat penangkaran yang menjadi sumber penelitian kami. Pertama di PT. DSLNG dengan 16 ekor maleo dewasa dan di PT. PAU dengan 23 maleo dewasa dengan usia di atas 3 tahun," ujarnya.

Selain meneliti perkembangan kehidupan maleo, ia bersama tim juga melakukan penetasan telur maleo bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah.

Saat ini ada sekira 30 butir telur yang tengah berada di inkubator. Tiga di antaranya telah menetas, sementara 27 butir lainnya masih dalam proses.

"Dari 27 butir itu yang teridentifikasi subur ada 15 butir, lainnya kemungkinan sudah terisi air dan tidak bisa menetas," katanya.


Baca juga: Burung Maleo terancam punah

Baca juga: 1.000 ekor Maleo ditangkarkan sejak 2005

Baca juga: Taman Nasional Lore Lindu lepas sekitar 1.000 ekor anak maleo


 

Pewarta: Rolex Malaha
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019