Ankara, Turki, (ANTARA News) - Muslim Rohingya yang telah menyelamatkan diri ke Kabupaten Cox`s Bazar di Bangladesh hidup dalam "kondisi yang sangat menantang" dengan nyaris tanpa harapan, kata seorang utusan PBB pada Kamis (28/2).

Christine Schraner Burgener, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar, memberi penjelasan kepada Dewan Keamanan PBB mengenai kunjungannya baru-baru ini ke Myanmar, Bangladesh dan tujuan lain di wilayah tersebut.

Menurut satu pernyataan yang dikeluarkan oleh PBB mengenai penjelasannya, Burgener mengatakan 18 bulan telah berlalu sejak kerusuhan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya dan orang lain meninggalkan rumah mereka, termasuk ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh.

"Meskipun Bangladesh dan masyarakat penerima sangat baik hati, kami tak bisa mengharapkan ini akan berlangsung selamanya," kata wanita pejabat itu, sebagaimana dikutip Kantor Berita Turki, Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat sore.

Baca juga: PBB: Terlalu dini untuk pulangkan Rohingya ke Myanmar

Ia mengatakan Rencana Tanggap Bersama PBB bagi 2019, yang diluncurkan belum lama ini, yang bertujuan mendukung para pengungsi dan masyarakat penampung, memerlukan dana "mendesak".

Burgener mengatakan sejumlah langkah prioritas juga perlu dilakukan, termasuk diakhirinya kerusuhan di Myanmar, difasilitasinya akses tanpa hambatan ke orang yang terpengaruh, ditanganinya sumber ketegangan dan dimungkinkannya pembangunan yang melibatkan banyak kalangan dan berkesinambungan.

Wanita pejabat tersebut menyatakan ketegangan sipil dan militer berlangsung terus di Myanmar sebelum pemilihan umum pada 2020.

Ia menyampaikan keprihatinan bahwa perang sengit dengan Tentara Arakan akan makin mempengaruhi upaya ke arah pemulangan sukarela dan bermartabat para pengungsi, dan juga menyeru kedua pihak agar menjamin perlindungan warga sipil dan melaksanakan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi kekhawatiran yang bertambah besar mengenai serangan sejak puluhan orang tewas dalam bentrokan antar-masyarakat pada 2012.

Baca juga: PBB desak Myanmar selidiki penindasan Rohingya

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, telah meninggalkan Myanmar dan menyeberang ke dalam wilayah Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penindasan terhadap masyarakat minoritas Muslim pada Agustus 2017.

Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah tewas oleh pasukan Pemerintah Myanmar, demikian satu laporan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembangunan Internasional Ontario (OIDA).

Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dilemparkan ke dalam kobaran api, sementara lebih dari 114.000 orang lagi dipukuli, kata laporan OIDA, yang berjudul "Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience".

Sebanyak 18.000 anak perempuan dan perempuan Rohingya diperkosa oleh polisi dan tentara Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah orang Rohingya dibakar dan 113.000 lagi dirusak, tambah laporan itu.

PBB telah mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan --termasuk bayi dan anak kecil-- pemukulan secara brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar.

Di dalam satu laporan, para penyelidik PBB mengatakan pelanggaran semacam itu mungkin telah menjadi kejahatan terhadap umat manusia.

Redaktur: Chaidar Abdullah

Pewarta: Antara
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019