Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas sipil yang dihasilkan pemilu mestinya bisa lebih tegas, bisa menolak wacana penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Syamsuddin Haris meminta Presiden Joko Widodo menolak penempatan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil sebab melanggar undang-undang.

"Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas sipil yang dihasilkan pemilu mestinya bisa lebih tegas, bisa menolak wacana penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil," ujar dia dalam diskusi di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat.

Syamsuddin Haris menyebut pada dasarnya wacana penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil bukan hanya tidak sesuai dengan keniscayaan supremasi sipil, tetapi juga mengkhianati agenda reformasi.

Ia menilai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi menerapkan pola kompromistis yang membuka peluang munculnya wacana mengenai penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil.

Dalam era Jokowi ia mencontohkan penempatan Doni Monardo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Padahal BNPB tidak masuk dalam jabatan sipil yang dimungkinkan dimasuki perwira aktif sesuai UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Ada jabatan-jabatan pemerintahan yang dimungkinkan masuknya TNI aktif, tetapi BNPB tidak termasuk," tutur Syamsuddin Haris.

Perwira aktif dapat ditempatkan di kantor yang membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.

Ia menggarisbawahi supremasi sipil adalah keniscayaan dalam demokrasi, meski level supremasi sipil dapat berbeda-beda. Untuk mewujudkan supremasi sipil, dibutuhkan komitmen pemimpin otoritas sipil.

Dalam UU TNI, landasan kebijakan yang digunakan untuk personel TNI adalah pasal 5 bahwa TNI merupakan alat negara dalam bidang pertahanan tergantung kebijakan politik negara dan wewenangnya ada pada keputusan politik negara, bukan keputusan TNI.

Baca juga: Komnas HAM: tata kelola militer harus tunduk hukum

Baca juga: KSP tegaskan TNI tidak akan dwifungsi

Baca juga: Kapuspen tegaskan restrukturisasi TNI tidak bangkitkan dwifungsi ABRI

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019