Manajemen kampanye dengan pengerahan massa sudah tidak tepat lagi.
Semarang (ANTARA) - Tinggal 43 hari lagi bangsa Indonesia menggelar pesta demokrasi. Makin mendekati hari-H pencoblosan, 17 April 2019, dua pasangan calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI perlu menunjukkan kepawaiannya dalam meredam emosi akar rumput.

Publik tidak perlu ditunjukkan lagi bentrokan antarpendukung pasangan calon (paslon), seperti kericuhan yang terjadi pada hari Rabu (27/2) di Jalan Magelang, Yogyakarta, sebelah utara Grand Pasific Hall, tempat acara "Prabowo Menyapa Masyarakat dan Purnawirawan TNI/Polri".

Sehari setelah kejadian, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U. angkat bicara. Mahfud MD. berharap masyarakat saling menahan diri menjelang Pemilu 2019 karena eskalasi politik makin menguat dan "sumbu makin pendek" (emosi makin cepat tersulut).

Mahfud MD di sela acara Forum Desentralisasi Asimetris Indonesia (Fordais) di Yogyakarta, Kamis (28/2), mengharapkan perbedaan dalam pilihan politik tidak memicu permusuhan yang berujung pada kekerasan fisik maupun psikis, seperti teror, ancaman melalui telepon, serta penyebaran hoaks (kabar bohong). Karena apa pun sesudah 17 April 2019, semua anak bangsa harus bersatu lagi.

Seperti yang diwartakan ANTARA, kericuhan diduga karena ada dua orang yang membawa spanduk pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin saat ada konvoi sepeda motor pendukung Prabowo-Sandi. Melihat ada yang membawa spanduk Jokowi-Ma'ruf, rombongan konvoi kemudian mengejar mereka.

Guru Besar Hukum Tata Negara Univeritas Islam Indonesia (UII) ini menegaskan bahwa dalam pesta demokrasi lima tahunan ini yang penting jangan emosi dan semua pihak mampu mengendalikan diri.

Sebelum kejadian di Yogyakarta, Selasa (26/2), dua pendukung paslon juga nyaris bentrok di Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, saat Calon Presiden RI Prabowo Subianto hendak bersilaturahim ke Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan.

Ketika massa pendukung Prabowo melakukan konvoi guna menjemput calon presiden nomor urut 02 itu, mereka melihat sekelompok perempuan yang membentangkan spanduk di Jalan Pintu Gerbang Kelurahan Bugih bertuliskan "Selamat Datang Prabowo Subianto di Kabupaten Pamekasan dan Kami Tetap Mendukung Jokowi".

Sejumlah orang berbaju putih bertuliskan Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Pembela Islam (LPI) langsung mendekati ibu-ibu yang membentangkan spanduk ucapan selamat datang kepada Prabowo Subianto itu.

Massa FPI dan LPI hendak merampas spanduk ucapan selamat yang dibentangkan ibu-ibu itu. Namun, tindakan mereka segara dicegah aparat Polres Pamekasan. Polisi pun meminta keduanya saling menjauh.

Aksi serupa juga dilakukan sukarelawan Jokowi-Ma'ruf di sepanjang jalan raya menuju lokasi kegiatan Prabowo Subianto di Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Bata-bata, Pamekasan. Spanduk dan poster pasangan Jokowi-Ma'ruf terlihat lebih mendominasi daripada spanduk pasangan Prabowo-Sandi.

Bahkan, dalam jarak sekitar tiga kilometer dari lokasi kegiatan, sekelompok remaja dan pemuda sukarelawan Jokowi-Ma'ruf serta santri dari sejumlah pondok pesantren juga melakukan aksi yang sama.

Kericuhan juga terjadi pada acara Harlah Nahdlatul Ulama (NU) di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, Rabu (27/2). Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mendorong aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Di sela Safari Kebangsaan IX di Lampung, Sabtu (2/3) malam, Hasto yang juga Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf meminta polisi jangan ragu-ragu menegakkan hukum.

Kepolisian Daerah Sumatera Utara pun telah menangkap 11 orang atas dugaan pembubaran acara tersebut dan melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang anggota Ansor
.
Meski polisi sudah menetapkan 11 tersangka dalam peristiwa itu, Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia Zuhairi Misrawi meminta polisi mengungkap kasusnya ke publik.

Cendikiawan NU ini mengatakan bahwa organisasinya selama ini sangat mengedepankan keberadaban dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Dia pun menegaskan bahwa NU sangat mencintai kedamaian.

                                       Tidak Boleh Dibiarkan
Agar memberi rasa nyaman terhadap calon pemilih untuk mendatangi tempat pemungutan suara (TPS), seyogianya pemangku kepentingan tidak membiarkan massa pendukung dua pasangan calon bertemu langsung. Hal ini guna mencegah terjadinya kericuhan.

Cara-cara yang dilakukan dengan memobilisasi massa untuk mencegah calon presiden dan calon wakil presiden berkunjung, menurut Sekjen DPP Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, seharusnya tidak boleh dibiarkan.

Priyo yang juga Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) untuk Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyesalkan sejumlah aksi penolakan terhadap pasangan calon nomor urut 02 di beberapa daerah di Indonesia.

Misalnya, Prabowo sempat mendapat "sambutan" dari massa yang mengatasnamakan pendukung Jokowi di kawasan Bulak-Kenjeran. Begitu pula, Calon Wakil Presiden RI Sandiaga Uno, harus membatalkan kunjungannya di salah satu desa di Tabanan, Bali.

Seharusnya, kata Priyo Budi Santoso di sela pelantikan sukarelawan "Gerram" Jatim di Surabaya, Senin (25/2), semua daerah di negeri ini tidak boleh ada yang mengklaim menjadi salah satu basis tertentu. Bahkan, pihaknya telah diingatkan oleh Prabowo dan Sandiaga agar tidak melakukan cara serupa.

Priyo berharap cara-cara penghadangan atau mobilisasi massa untuk mengintimidasi calon presiden yang didukungnya dihentikan sehingga tidak mencederai politik dan pesta demokrasi di Tanah Air.

                                           Manajemen Kampanye
Sementara itu, pakar komunikasi STIKOM Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. menilai manajemen kampanye dengan mengerahkan massa pada era sekarang ini kurang tepat, apalagi pengguna internet di Indonesia mencapai 150 juta warganet.

Hal ini mengingat psikologi massa yang gampang tersulut emosinya, kata Gunawan yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang itu.

Menurut Gunawan, ke depan lebih baik kampanye lewat media massa. Namun, yang menjadi masalah adalah ada pembatasan iklan media massa.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu sebagaimana diubah dengan PKPU No. 33/2018, waktu pemasangan iklan 21 hari jelang masa tenang, atau mulai 24 Maret hingga 13 April 2019.

Adanya pembatasan ini, lanjut Gunawan, menyebabkan munculnya pengerahan massa dalam rangka unjuk kekuatan (show of force) sekaligus berkorelasi positif dengan politik ekonomi media yang menganggap kegiatan dengan melibatkan banyak orang sebagai komoditas layak jual.

Solusi sekaligus tantangannya adalah bisakah masing-masing pasangan calon presiden/wakil presiden beserta tim suksesnya mengubah model serta isi kampanye dengan penyampaian program yang informatif, aplikatif, sekaligus edukatif?

Tidak hanya itu, sejauh mana pasangan Jokowi-K.H. Ma'ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mampu mencegah para pendukungnya untuk tidak melakukan penghadangan/penolakan terhadap capres/cawapres yang berkampanye di daerah-daerah.
***2***
 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019