Jakarta (ANTARA) - "Halo adik-adik, ayo semua berkumpul! Hari ini Kakak bawa banyak buku bagus, nih! Ada seri petualangan di kutub Utara, kisah sahabat nabi, dan menjelajah dasar Samudera Pasifik. Kakak juga bawa komik-komik seru, loh! Siapa yang mau baca?" tanya pemuda paruh baya bernama Edi Dimyati.

Sontak sekumpulan bocah yang duduk di pelataran masjid Al Ittihad, Cibubur, Jakarta Timur, berlari ke arah sumber suara. Mereka segera mengerumuni Edi yang tengah memarkir sepeda merah terangnya.

Sekilas sepeda itu tidak jauh berbeda dengan sepeda pada umumnya. Hanya ada sedikit modifikasi posisi sadel yang lebih rendah dari semestinya, tambahan dua lampu sorot jalan di sisi depan dan belakang sepeda serta sebuah peti berukuran 60x40 cm di bagian tengah rangka.

"Peti ini mampu menampung buku hingga lima puluh judul. Sebagian besar adalah buku bergambar atau buku-buku yang merangsang imajinasi positif anak-anak berupa komik, kumpulan kisah teladan, biografi tokoh, cerita pendek, dan novel fiksi," tambah pria berusia empat puluh tahun itu, saat ditemui Antara, Minggu (3/3).

Edi Dimyati adalah penggagas gerakan Gowes Literasi. Kampanye membaca buku itu menyasar anak-anak yang ada di titik-titik keramaian ruang publik. Gowes Literasi merupakan perpustakaan bergerak yang membuka ruang luas bagi anak-anak untuk dapat membaca buku secara gratis.

"Meski dibaca gratis, ada kalanya buku-buku yang saya bawa berpindah tangan,” ujar Edi seraya tersenyum. Sebagian besar koleksi buku yang Edi bawa berasal dari perpustakaan Kampung Buku yang ia kelola dan donasi beberapa perusahaan swasta.

Menurut Edi, Gowes Literasi berawal dari keinginannya untuk menumbuhkan minat membaca buku sedari dini. Ia lantas memulai langkah kecil untuk mewujudkan impiannya yaitu menjelajahi kawasan tempat ia tinggal di Cibubur dengan perpustakaan sepeda modifikasinya.

Kegiatan yang digagas pada 2016 itu mulai menularkan dampak positif yaitu dukungan rekan-rekan Edi dari berbagai taman baca. Puncaknya adalah ketika Edi dan tiga orang sahabatnya melakukan perjalanan pergi-pulang Jakarta-Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, selama sebelas hari, tentu saja dengan menggowes sepeda!

“Tidak ada persiapan khusus. Saya hanya membawa uang saku sebesar Rp400 ribu. Selama di jalan pun tidak banyak kendala, hanya satu kali ban sepeda bocor. Kami bermalam di rumah sahabat atau masjid. Sungguh perjalanan yang menyenangkan," kenang Edi yang memang hobi bertualang.

Salah satu pelajaran yang didapat Edi selama petualangannya adalah animo anak-anak yang sangat besar. Mayoritas anak-anak sangat suka membaca buku utamanya komik atau novel. Edi melanjutkan, selama ini anak-anak terutama yang berada di kota-kota kecil, tidak memiliki banyak ruang untuk mengakses buku.

“Contohnya adalah perpustakaan dan taman baca yang minim, pasokan buku yang tidak berkesinambungan, serta kondisi buku yang kurang layak. Hal-hal itu akan semakin membuat anak-anak sulit memperoleh bacaan yang baik,” sambung Edi.

Kini Edi memperluas misi mulianya dengan mengelola beberapa perpustakaan dan taman baca sambil tetap mengayuh sepeda menyusuri perkampungan-perkampungan di wilayah Jakarta dan Bekasi.

Mampu Membaca vs Minat Membaca
 
Pegiat literasi Edi Dimyati (40) menawarkan perpustakaan baca gratis kepada sejumlah anak di Bukit Permai Cibubur, Minggu (3/3/2019). (ANTARA News/Adnan Nanda)


Mengacu pemeringkatan perilaku literasi negara-negara dunia dari Central Connecticut State University (CCSU) tahun 2016, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara, hanya terpaut satu posisi dari Botswana.

Sementara Finlandia di posisi puncak disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman. Pemeringkatan itu dibuat berdasarkan lima indikator kesehatan literasi sebuah negara yaitu keberadaan perpustakaan, surat kabar, tingkat pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Pemerhati pendidikan Universitas Negeri Jakarta Asep Supena berpendapat selama ini orang tua hanya berorientasi pada kemampuan membaca anak-anak. Padahal setelah anak-anak mampu membaca, hal selanjutnya yang mesti ditanamkan adalah minat membaca. Asep menegaskan terdapat perbedaan mendasar dari mampu dan minat membaca.

"Proses mampu membaca termasuk wilayah kognitif atau kompetensi. Sedangkan minat membaca berhubungan dengan karakter atau kepribadian. Jadi ketika anak-anak sudah mampu membaca di usia lima atau tujuh tahun, maka orang tuanya dapat mulai mengakomodir kegiatan-kegiatan bersifat rekreatif yang memicu anak-anak untuk 'lapar' terhadap bacaan,” kata Asep kepada Antara, Senin (4/3).

Menurut Asep ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan para orang tua untuk menumbuhkan kegemaran membaca pada anak-anak. Salah satunya dengan tidak menjadikan sekolah, guru, atau pekerjaan rumah sebagai bentuk hukuman atau sesuatu yang menakutkan.

"Hal ini akan menjadi tekanan bagi anak-anak untuk pergi sekolah. Terlepas dari bentuk pendidikan dasar ideal yang masih berproses selama ini, anak-anak harus melihat sekolah sebagai hal yang menyenangkan, wadah bercengkrama dan bekerja sama dengan orang lain," jelas Asep.

Selain itu lanjut Asep, orang tua adalah model peran paling efektif bagi anak-anak. Maka mudah bagi anak-anak untuk memulai kegemaran mereka terhadap bacaan bila model peran mereka mempraktikkan hal serupa. Sedangkan salah satu pendekatan teknis yang dapat dicoba oleh pihak sekolah adalah memilih modul belajar yang memiliki banyak visual, dongeng, dan permainan peran.

Simak video berikut:
 

(Penulis: Peserta Susdape XIX/Adnan Nanda)

Pewarta: Peserta Susdape XIX/Adnan Nanda
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019