Jakarta (ANTARA) - Pengajaran pendidikan karakter harus dipaksakan untuk menjaga jati diri bangsa Indonesia, mengingat nilai-nilai luhur seperti sopan-santun, toleran, dan saling menghormati sudah semakin menipis di tengah masyarakat, terutama generasi muda.

Menipisnya nilai-nilai luhur bangsa itu membuat anak-anak bangsa sangat rentan terhadap serangan ideologi dan paham asing, kata Staf Ahli Menkopolhukam Sri Yunanto di Jakarta, Rabu.

Oleh karena itu, menurut Yunanto, pengajaran pendidikan karakter, baik melalui cara konvensional maupun literasi digital, harus dipaksakan kepada generasi muda. 

"Harus dipaksakan dan semua harus mengikuti, karena ini jati diri bangsa. Apakah melalui kurikulum pendidikan atau melalui dunia digital," katanya.

Sri Yunanto mengatakan bahwa fenomena media sosial sudah sangat luar biasa. Kalau bangsa ini lemah akan sangat berbahaya, dan ini menjadi tanggung jawab semua, baik pemerintah, masyarakat, lingkungan, maupun keluarga.

Langkah pertama untuk menguatkan kembali karakter bangsa, menurutnya, adalah dengan memberikan pemahaman kembali mengenai Empat Pilar Kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Itu bisa diberikan melalui kurikulum pendidikan dan kampanye di media sosial.

Dengan pemahaman kembali Empat Pilar Kebangsaan secara utuh, Sri Yunanto optimistis generasi muda akan memiliki imunitas dan pembanding yang baik terutama saat mendapatkan pengetahuan baru dari dunia digital tentang ide kebebasan maupun paham transnasional.

Selain Empat Pilar Kebangsaan, ideologi agama juga harus disebarkan karena agama-agama di Indonesia mempunyai misi yang sama, yaitu mengajarkan kebaikan, toleransi, perdamaian, dan moderasi. Dengan memahami ideologi agama, generasi muda akan memilik saringan dalam menghadapi serangan ideologi asing.

Sri Yunanto juga menekankan perlunya memviralkan di media sosial mengenai nilai-nilai luhur bangsa, seperti gotong-royong, "tepo seliro", toleran, dan saling menghormati. Peran keluarga juga sangat penting dalam melindungi anak-anak dari "virus" negatif di medsos.

Selain literasi digital, pemerintah sebagai “legitimate force” bisa memaksa setiap warga dengan cara sah—baik itu pelajar, mahasiswa, aparat, pengusaha, bahkan TKI—  untuk mempelajari bela negara. Apalagi sekarang sudah adanya Inpres Nomor 7 Tahun 2018 tentang Bela Negara.

"Negara akan eksis bila didukung warga negaranya. Apalagi perkembangan siber hanya bisa ditangani kalau setiap warga negara punya satu mekanisme saringan sehingga ajaran bela negara, dipaksakan di semua lini masyarakat," jelas dosen politik Islam Universitas Indonesia ini.

Intinya, tambah Yunanto, semua lini harus bergerak dengan metodologi terkini, termasuk di media maupun medsos. Semua itu harus dikemas dengan menarik dan konten yang sesuai dengan perkembangan zaman serta tidak simbolik dan seremonial, tetapi mengena di hati masyarakat.

Baca juga: Presiden: pendidikan karakter harus ditumbuhkan sejak dini
Baca juga: Pendidikan Karakter Bisa Diajarkan Melalui Cerita Rakyat

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019