Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara  Institut Pertanian Bogor (Seafast IPB) membeberkan alasan yang menyebabkan negara maju selalu menekan minyak sawit.

Direktur Seafast IPB Prof.Nuri Andarwulan di Jakarta, Rabu, menyatakan, minyak sawit selalu ditekan oleh negara-negara maju karena komoditas tersebut memiliki keistimewaan yang tinggi dibandingkan minyak nabati lain produk mereka.

"Minyak sawit mempunyai kandungan vitamin dan nutrisi tinggi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyakarat, khususnya kandungan vitamin A dan E yang tak dimiliki minyak nabati lain," katanya dalam Diskusi Sawit Indonesia bertema "Sawit Menjawab Kebutuhan Gizi dan Persoalan Kesehatan".

Minyak sawit, lanjutnya, memiliki kandungan  karoten (Vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (Vitamin E) yang sangat tinggi sehingga mengandung zat antioksidan. Dibandingkan minyak kedelai, kandungan tokotrienol minyak sawit dua kali lebih banyak

"Kasiat vitamin A dan E yang lebih tinggi ini selalu disembunyikan oleh negara-negara maju yang tidak menyukai minyak sawit," katanya.

Selain itu, lanjutnya, minyak sawit mengandung hampir 50 persen asam lemak jenuh dan hampir 50 persen lemak tidak jenuh serta omega 9 yang berfungsi untuk membangun dinding sel dan membran sel tubuh sehingga sangat cocok digunakan sebagai bahan baku minyak goreng.

Selain itu minyak sawit memiliki kandungan asam lemak jenuh yang sangat dibutuhkan untuk pembuatan susu formula agar setara dengan air susu ibu (ASI) yang diperlukan anak-anak.

Dia mengungkapkan dari 50 sampel susu formula yang diteliti ternyata sebanyak 45 sampel memiliki kandungan minyak sawit yang tak bisa digantikan minyak nabati lain. "Inilah alasan mengapa Amerika dan Eropa selalu menyerang sawit," katanya.

Sementera itu kalangan peneliti dari Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) menawarkan solusi pemakaian minyak sawit merah alami untuk mengatasi kekurangan gizi masyarakat Indonesia.

Ketua Umum MAKSI Darmono Taniwiryono menceritakan pengalamannya sewaktu di Afrika yang menunjukkan tradisi makanan olahan minyak sawit merah telah dimulai semenjak 5.000 tahun lalu dengan teknik ekstraksi sederhana. Namun, saat ini minyak sawit merah alami yang kaya nutrisi belum termanfaatkan secara maksimal di Indonesia.

"Di sinilah peluang mengatasi kekurangan gizi dan kesehatan masyarakat sangat tinggi termasuk untuk mengatasi permasalahan stunting," katanya.

Di Indonesia, lanjutnya, minyak sawit merah alami bisa dipakai sebagai campuran minyak makan pada berbagai tingkat persentase. Saat ini, telah ada minyak sawit merah yang dapat dikonsumsi untuk makanan olahan dan pakan ternak.

Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy berharap ada produk olahan kelapa sawit yang kaya akan vitamin A, melalui hasil penelitian.

"Untuk itu, kami berharap kelapa sawit dapat menjadi solusi dalam mengatasi stunting. Karena masalah yang dihadapi pola konsumsi," ujarnya.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga menyatakan asupan vitamin A di dalam minyak sawit dapat menanggulangi masalah stunting di Indonesia, salah satunya, memanfaatkan minyak sawit merah yang alami.

Namun demikian, lanjutnya, yang harus diperhatikan, pemerintah semestinya berkomitmen untuk mengubah pemakaian minyak goreng dari curah menjadi kemasan.

"Pemerintah jangan lagi mundur dari kewajiban minyak goreng kemasan pada 1 Januari 2020. Sebaiknya diberikan insentif kepada pelaku industri," ujar Sahat.

Di sisi lain, menurut dia, minyak jelantah harus dilarang peredarannya karena berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Untuk itu Kementerian Perdagangan seharusnya mengawasi peredarannya.

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019