Mataram (ANTARA) - Kasus incest yang terjadi di Lampung belum lama ini cukup menghebohkan. Para pelaku hubungan seks sedarah itu melibatkan satu keluarga, ayah kandung, kakak kandung, dan adik kandung.

Ironisnya korban kekerasan seksual itu adalah seorang anak penyandang disabilitas.

Kasus hubungan seksual sedarah itu agaknya tak hanya terjadi di Lampung, tetapi juga di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Beberapa waktu lalu di Kabupaten Lombok Timur terjadi "incest" antara ibu dan anak kandung, bahkan hingga melahirkan dan jabang bayi dibuang di kebun pisang.

Kondisi ini cukup memprihatinkan. Seorang ayah yang seharusnya melindungi anaknya justru tega melakukan perbuatan bejat terhadap darah dagingnya sendiri. "Pagar makan tanaman", pribahasa ini agaknya cocok disandang para pelaku incest tersebut.

Maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak ini memunculkan keprihatinan masyarakat termasuk para pemangku kepentingan terkait, tak terkecuali para pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi NTB.

Karena itu P2TP2A Provinsi NTB menginisiasi pertemuan pimpinan DPRD di daerah ini untuk membahas dan mencari jalan keluar terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di "Bumi Gora" ini.

P2TP2A adalah pusat pelayanan terpadu yang dibentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Keberadaan lembaga ini di berbagai daerah Indonesia, termasuk di NTB adalah menyediakan pelayanan bagi warga yang jadi korban kekerasan–terutama perempuan dan anak.

Selain itu, P2TP2A juga menyediakan layanan seperti pusat untuk konsultasi usaha, pusat pelatihan bagi perempuan, hingga pusat informasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketua Pelaksana Harian P2TP2A NTB Hj Ratningdiah menilai kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB sudah sangat memprihatinkan.

Menurut data P2TP2A Provinsi NTB, pada 2016 tercatat 1.679 kasus, meningkat menjadi 1.821 Kasus pada 2017 sedangkan tahun 2018 sedang dilakukan rekap, namun diyakini jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya.

Dari semua kasus tersebut, 70 persen adalah kasus kekerasan incest atau kekerasan seksual di mana pelaku dan korban memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat. Kondisi ini cukup memprihatinkan dan perlu dilakukan upaya strategis untuk mengurangi kasus tersebut.

Ironisnya berdasarkan analisis terhadap semua kasus di wilayah NTB kecuali di Kota Mataram, dapat dikatakan pelaku dan korban 100 porsen merupakan orang miskin.

Dari tiga daerah itu, wilayah dengan kasus tertinggi adalah Kabupaten Sumbawa, Kota Mataram dan Lombok Timur. Khusus Kota Mataram, kasus kekerasan yang banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kebanyakan pelakunya melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ratningdiah menilai kasus ini masuk kategori darurat, sehingga sudah harus ada upaya. Ibarat borok, suka atau tidak suka kasus ini harus buka walaupun hal ini dapat merusak citra daerah (NTB).

Sejatinya kasus kekerasan terhadap perempuan di NTB masih cukup memprihatinkan. Karena itu untuk mewujudkan kesetaraan gender agaknya masih memerlukan perjuangan panjang dan "political will" dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.

Di sisi lain, para kaum hawa di Provinsi NTB tak hanya menghadapi perasoalan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kehidupan sebagian perempuan di bumi "Seribu Masjid" ini juga lekat dengan keterbelakangan, setidaknya ini dibuktikan dengan tingginya angka buta huruf di kalangan perempuan di daerah ini.

Anggota DPD RI asal NTB Hj Robiatul Adawiyah mengaku prihatin dengan masih tingginya angka buta huruf di kalangan kaum perempuan di provinsi itu.

Karena itu, menurut dia, perlu keterpaduan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk bersama-sama menuntaskan program penuntasan buta aksara di NTB saat ini.

Ia mengaku sangat prihatin dan menyayangkan hal itu terjadi di NTB. Terlebih lagi, para penyandang buta huruf di NTB adalah mereka yang berusia 15-59 tahun dan umumnya adalah kaum perempuan.

Pemprov NTB masih memiliki pekerjaan besar dalam menuntaskan buta aksara di tengah masyarakat, sebab dari total 2,2 juta penduduk Indonesia yang tidak mengenal baca tulis.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2017, justru 7,91 persennya berada di 10 kabupaten/kota di NTB.

Persentase 7,91 persen itu menempatkan provinsi NTB berada pada dua provinsi tertinggi secara nasional di bawah provinsi Papua sebagai 11 daerah yang prosentasenya melebihi angka nasional buta hurufnya saat ini.

Untuk itu, Rabiatul Adawiyah menilai masalah buta aksara dan kemiskinan adalah hal yang berkaitan dan sebangun, sebab di desa-desa yang miskin, mayoritas penduduknya terkendala buta aksara.

Intervensi program

Karena itu, Rabiatul Adawiyah memadang intervensi program yang dilakukan secara paralel diperlukan guna menekan angka buta huruf tersebut. Sebab, ketidakberdayaan perempuan di NTB masih saja terjadi saat ini.

Ironisnya hal ini menjadi salah satu faktor penyebab perempuan-perempuan yang ditinggal suami karena berbagai alasan selalu menjadi mimpi buruk bagi kaum perempuan. Perempuan selalu menanggung akibatnya.

Ia mengaku sudah berkeliling ke kampung-kampung diseluruh pelosok NTB dan melihat langsung kondisi yang cukup memprihatinkan itu, umumnya kaum perempuan NTB selama ini, juga dipandang identik dengan kemiskinan.

Mereka menikah pada usia dini dan tidak sedikit yang menyandang buta aksara. Inilah yang menjadi keprihatinan dan perlu mendapat perhatian.

Kalau dilihat lebih lebih jauh, kata Rabiatul Adawiyah, di desa-desa kaum ibu yang paling banyak, hampir dua per tiganya. Jadi kalau ingin menuntaskan keaksaraan, harus memperhatikan ibu-ibu di desa-desa miskin

Untuk menuntaskan buta aksara yang dialami ibu-ibu di NTB dia mewacanakan untuk mendekatkan para ibu rumah tangga itu ke bidang kewirausahaan.

Dari pendekatan itu para ibu rumah tangga tersebut dapat berjualan makanan atau kerajinan daerah. Cara seperti itu tentunya akan bisa membuat para ibu menghasilkan uang dan bisa tertarik belajar agar melek huruf dan angka.

Selain itu mengarahkan kaum ibu menggarap industri rumahan, seperti membuat kue, makanan, dan kerajinan sehingga secara tidak langsung akan memotivasi mereka untuk belajar berhitung dan membaca.

Karena itu berbagai kelangan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual guna mengatasi kian maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan yang saat ini masuk kategori.

Sejatinya masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak seringkali berawal dari permasalahan ekonomi. Semenatara permasalahan ekonomi seringkali berawal dari perceraian akibat pernikahan usia anak. Ini menjadi permasalahan cukup kompleks di Provinsi NTB. Jadi seperti lingkaran setan yang tak berkesudahan.

Wakil Gubernur NTB, Sitti Rohmi Djalilah, saat menjadi keynote speaker dalam Pertemuan Para Pemangku Kepentingan "Optimalisasi Upaya Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak serta Perkawinan Anak untuk Peningkatan SDM NTB" oleh Yayasan Tunas Alam Indonesia bebera waktu lalu.

Ia menilai hal ini harus diatasi mulai dari hulu. Dari organisasi terkecil yang ada pada tatanan masayarakat yaitu keluarga. Pemerintah dapat memulai dari lingkup terkecilnya yaitu pemerintahan yang ada di Dusun.

Ummi Rohmi --sapaan Wagub NTB-- menyarankan peran Posyandu yang ada di setiap dusun dapat menjadi "kaki tangan" penyelesaian masalahan tersebut.

Halyang tidak kalah pentingnya dalam mengubah pola pikir masyarakat adalah bahwa pernikahan usia anak itu bukan hanya sekadar program pemerintah tapi demi kemaslahatan bersama itu perlu waktu dan harus konsisten untuk menjalankannya.

Dalam kaitan itu, Konferensi Perempuan Timur 2018 yang digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 10-11 November 2018 telah menghasilkan lima rekomendasi bagi pemerintah terkait persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Lima rekomendasi ini lahir dari persoalan dan pengalaman yang dialami perempuan khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang telah dibahas dalam konferensi.

Kelima rekomendasi itu, yakni mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan memastikan pemidanaan perkawinan anak, perdagangan perempuan, perbudakan seksual dan eksploitasi seksual dan dukungan untuk lembaga layanan.

Selain itu, mendorong terlaksananya moratorium dan memperkuat kapasitas pelayanan, advokasi, pemberdayaan bagi korban dalam rangka menyelesaikan masalah perdagangan orang (perempuan).

Di samping itu, mendorong adanya peraturan pemerintah tentang pencegahan dan pelarangan perkawinan anak yang memasukkan perubahan tentang pengasuhan orang tua dan penguatan ekonomi dan keluarga.

Memastikan adanya pemulihan bagi korban dan keterpaduan layanan yang diberikan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan melalui sistem peradilan pidana terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Rekomendasi lainnya adalah memperkuat kebijakan pemerintah bagi kelompok marginal untuk terlibat dalam pembangunan desa terutama dalam perencanaan dan anggaran.

Sejatinya, untuk mengurangi berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan itu harus segera diatasi, tentunya dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Ini untuk mewujudkan kesetaraan gender yang kini tengah diperjuangkan.
 

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019