Kotabaru (ANTARA) -
Warga delapan desa di Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan meminta PT. Perusahaan listrik negara (PLN) memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat setempat.
 
Pasalnya gangguan listrik sering terjadi di wilayah mereka dan banyak merugikan masyarakat, mulai dari rusaknya barang-barang elektronik hingga melumpuhkan roda ekonomi.

"Kulkas tidak bisa menyala, otomatis nelayan tidak bisa melaut karena mereka menggunakan es batu untuk mengawetkan ikan," kata  Kepala Desa Ujung Akhmad Kusairin di Pulau Sebuku, Sabtu. 

Pihaknya meminta kepada PLN untuk memaksimalkan pelayanan agar listrik tidak  mati-nyala lagi. Selain itu, masyarakat juga berharap listrik yang selama ini hanya menyala malam hari bisa dinikmati 24 jam.
 
Pada 2017 lalu pemerintah daerah pernah menjanjikan listrik di Pulau Sebuku akan hidup sehari semalam, namun itu ternyata hanya sempat berjalan tiga pekan.
 
"Saat ini masih 12 jam mulai pukul lima sore sampai pukul lima pagi," tambahnya.
 
Camat Pulau Sebuku Joko Pitoyo membenarkan pemadaman listrik kerap terjadi di wilayahnya, biasanya antara tiga sampai lima hari setiap bulan.
 
Dirinya juga berharap pelayanan listrik 24 jam dapat terealisasi sehingga kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik.
 
"Apalagi pelayanan sekarang mengarah pada aplikasi, misalnya laporan keuangan desa. Sedangkan listrik hanya malam, siang tidak bisa kerja," ujar Joko.
 
Selain itu, hasil-hasil pembangunan seperti pelabuhan dan jalan membuat kegiatan perekonomian semakin lancar, namun jadi terhambat karena ketersediaan listrik tidak mendukung.
 
“Kalau bisa 24 jam diharapkan nanti ada unit bank dan cabang-cabang usaha sebagaimana di daerah lain juga ada di Pulau Sebuku, sehingga masyarakat tidak lagi berurusan ke kota,” harapnya.
 
Sementara itu, Manajer PT PLN Area Kotabaru Sudarto mengatakan gangguan listrik yang sering terjadi di Pulau Sebuku lebih disebabkan faktor alam.
 
Ini karena jaringan listrik banyak melewati pohon-pohon dan terkadang mengenai kabel jika diterpa angin kencang.
 
"Kami akan melakukan pemeliharaan besar-besaran, khususnya di perbaikan jaringan. Mungkin sudah bertahun-tahun tidak ada sentuhan yang maksimal," katanya.
 
Sedangkan dari sisi pembangkit tidak ada masalah karena mesin yang ada di Unit Listrik Desa (ULD) Sungai Bali relatif masih baru.
 
ULD Sungai Bali memiliki daya mampu pembangkit 1.375 KW, sedangkan beban puncak baru separuhnya, sehingga secara ketersediaan listrik sangat mencukupi.
 
Namun demikian, listrik belum dapat menyala 24 jam karena terkait kuota bahan bakar minyak (BBM).
 
“Memang dulu sempat menyala 24 jam, tapi waktu itu hanya untuk uji coba mesin baru,” terang Sudarto.

 
Setiap hari operasional ULD Sungai Bali menghabiskan 1.400 liter BBM jenis solar. Dengan harga solar industri dan ongkos angkut Rp 6.712, maka biaya untuk membangkitkan 1 KWH setara Rp1.946.
 
"Jika dalam sebulan produksi 160 ribu KWH, maka biaya produksi kami Rp312 juta. Sedangkan pendapatan dari rekening listrik hanya Rp 145 juta, sehingga ada selisih Rp 167 juta yang ditanggung pemerintah. Itu baru BBM, belum lagi pemeliharaan, gaji pegawai," ujarnya. 

Baca juga: 65 persen pembangkit listrik di Kotabaru beroperasi 12 jam
Baca juga: Masyarakat dua kecamatan di Kotabaru harapkan listrik

Pewarta: Imam Hanafi
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019