Jakarta (ANTARA) - Bagi Intan Suci Nurhati (35), penelit Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bertemu hiu saat melakukan penelitian merupakan hal yang biasa.

"Kalau hiu itu cincai (santai), saya sering banget bertemu kalau lagi di laut. Saya di sini dia (hiu) di situ, saya enggak pernah lihat muka hiu, tapi ya kita enggak saling ganggu karena sama-sama cari makan," ujar Intan dalam taklimat media di Jakarta, akhir pekan lalu.

Selama bertemu hiu saat melakukan penelitian, dia mengaku tak pernah sekalipun diganggu. Hiu, menurut dia, berbeda dengan hewan berbahaya lainnya seperti buaya. Buaya adalah hewan yang sangat ditakutinya, karena  akan selalu mengejar.

"Saya tidak tahu bagaimana caranya lari dari buaya," kata dia lagi.

Sebagai peneliti, ia terbiasa menyelam dan mengebor terumbu karang untuk diteliti. Mulai dari perairan di Kepulauan Seribu hingga kawasan Laut Pasifik. Ia mengaku banyak mengalami suka duka di lapangan.

Sebagai peneliti di bidang Paleo Oseanografi yakni yang meneliti kehidupan laut di masa lampau, ia harus menyelam berjam-jam ke dasar laut hanya untuk mengambil sampel untuk kepentingan penelitiannya. Ia meneliti terumbu karang, untuk mengetahui kondisi pada masa lampau.

Menurut Intan, data yang dimiliki LIPI terkait perubahan iklim, tersedia mulai tahun 1980-an, padahal perubahan iklim sudah terjadi sejak lama. Lalu bagaimana meneliti perubahan iklim pada masa lampau? Ia menjelaskan, yakni dengan terumbu karang.

Dengan meneliti terumbu karang ia bisa menguak masa lalu kondisi iklim dan kelautan yang belum tercatat. Dia biasanya meneliti karang yang telah hidup sejak puluhan hingga ratusan tahun lalu.

"Dengan potongan karang itu, kita mendapatkan informasi lengkap laut dari masa ke masa."

Melalui terumbu karang pula, ia dapat mengetahui polusi yang terjadi di kawasan perairan itu. Misalnya di perairan di Kepulauan Seribu di mana terumbu karang di kawasan itu tumbuh tinggi karena steroid namun rapuh. Hal itu membuktikan bahwa kawasan itu berpolusi akibat perbuatan manusia.

Intan meraih gelar doktor pada 2010 di Georgia Institute of Technology, Amerika Serikat dengan fokus Earth and Atmospheric Sciences dengan sertifikat di bidang  Environmental Public Policy. Pada 2018, Intan meraih LIPI Young Scientist Award (LYSA) 2018 atas konsistensinya dan memiliki rekam jejak yang baik dalam melakukan penelitian.

Terkait Hari Perempuan Internasional 8 Maret,  ia mengaku ada tantangan tersendiri menjadi perempuan yang sekaligus peneliti, karena harus meninggalkan rumah selama berminggu-minggu.

"Peneliti harus ke lapangan dan di lapangan itu tidak sebentar. Saya misalnya melakukan penelitian selama dua minggu bahkan lebih untuk mendapatkan sampel," kata Intan.

Pada saat seperti itu, menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti perempuan karena harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Untuk itu, kata Intan, perlu sistem dukungan yang baik untuk mendorong kerja peneliti perempuan.


Difabel

Lain halnya dengan Kartika Dewi (40), peneliti bidang zoologi pada Pusat Penelitian Biologi LIPI. Ia menjadi peneliti sejak tahun 2005, dengan fokus penelitian  nematoda parasit pada hewan liar di Indonesia.

Kartika meraih gelar doktor bidang Veterinary Science, di Rakuno Gakuen University di Jepang. Salah satu penelitiannya yakni nematoda parasit pada jenis-jenis katak di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Ia merupakan salah satu peneliti difabel yang bekerja di LIPI. Ia harus menggunakan dua tongkat yang membantunya berdiri dan berjalan. Polio yang menyerangnya pada usia tiga tahun membuatnya tak bisa lagi berjalan.

Meski memiliki kondisi berbeda dengan peneliti lainnya, ia mengaku tidak minder. Bahkan rekan-rekannya membantunya dengan mengambilkan sampel di lapangan.

"Jadi saya tidak perlu ke lapangan untuk mendapatkan sampel. Pekerjaan saya hanya di laboratorium dan membuatkan laporannya menjadi jurnal," katanya.

Kartika yang sudah mempunyai dua anak itu mengatakan hasil penelitiannya merupakan sains dasar yang digunakan untuk penelitian lanjutan.

Ia mencontohkan, cacing tambang pada manusia, maka untuk memberikan perlakuan tidak mungkin pada manusia. Maka dicari kekerabatannya yang dekat yakni cacing pada tikus untuk memberikan perlakuan lanjutan.

Sebagai peneliti perempuan, ia mengaku mempunyai tantangan tersendiri. Terlebih ia merupakan ibu dengan dua anak perempuan yang masih kecil-kecil.

Perempuan harus membagi waktunya antara penelitian dan keluarga. Ia bahkan mengakui pada saat anak sakit ataupun rewel pada malam hari, kemudian paginya harus berangkat ke kantor menjadi tantangan tersendiri.

"Tapi tidak ada yang mustahil bagi perempuan untuk mewujudkan impiannya," katanya.


Berprestasi

Peneliti lainnya, Athanasia Amanda Septevani merupakan peneliti bidang polimer, nanokomposit dan nanateknologi pada Pusat Penelitian Kimia LIPI. Amanda bergabung sebagai peneliti setelah meraih gelar master dan doktoral di The University of Queensland, Australia di bidang sains material.

Pada tahun 2018, Amanda memperoleh penghargaan L'Oreal UNESCO Women in Science 2018 atas penelitiannya terkait nanopaper berbasis biomassa serat nanoselulosa alami sebagai layar perangkat elektronik masa depan.

"Hasil penelitian ini diharapkan sebagai pengganti layar perangkat elektronik seperti gawai dan televisi, yang bahannya kaku dan mudah retak, serta berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui," ujar Amanda,

Sekretaris Utama LIPI, Nur Tri Aries, menjelaskan LIPI saat ini memiliki jumlah peneliti perempuan sebanyak 663 orang yang tersebar di berbagai satuan kerja teknis penelitian LIPI.

"LIPI memiliki sederet peneliti perempuan yang berprestasi dan dapat menginspirasi perempuan Indonesia untuk termotivasi berkarya di bidang yang digelutinya,” kata Nur.

Perempuan tidak perlu lagi khawatir terhambat dalam mengembangkan karirnya di dunia penelitian, sebab yang penting adalah bagaimana bisa menunjukkan prestasinya dan bagaimana ilmunya dapat bermanfaat bagi masyarakat.
 

Baca juga: Tiga peneliti perempuan LIPI bagikan kisahnya
Baca juga: Peneliti harus kompetitif menangkan persaingan global

 

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019