Jakarta (ANTARA) - Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja yang merupakan pengejawantahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2015 khususnya pasal 48 ayat (3) yang mewajibkan BPJS Ketenagakerjaaan bertanggung jawab atas 88 jenis penyakit akibat kerja (PAK).

Peraturan ini diimplementasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dengan manfaat yang diberikan berupa layanan kesehatan dan uang tunai (santunan).

Direktur Pelayanan BPJSTK Krishna Syarif di Jakarta, Rabu menjelaskan bahwa selama ini Program JKK identik dengan kasus kecelakaan kerja yang terjadi di jalan menuju atau dari tempat kerja, di lokasi kerja serta perjalanan dinas. Padahal perlindungan JKK sangat luas, juga mencakup penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja atau lazimnya disebut Penyakit Akibat Kerja (PAK).

Krishna menambahkan peserta yang mengalami kecelakaan kerja maupun PAK mendapatkan manfaat sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2015, yaitu pelayanan kesehatan tanpa batas sesuai kebutuhan medis, sampai si peserta dapat bekerja kembali.

Terdapat juga santunan berupa uang untuk meliputi penggantian biaya pengangkutan, santunan sementara tidak mampu bekerja, santunan cacat, santunan kematian dan bantuan lainnya, ditambah bantuan beasiswa pendidikan anak bagi kecelakaan kerja dan PAK yang berdampak pada kematian.

“Hampir semua klaim program JKK selama ini untuk kasus kecelakaan kerja pada data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa jumlah kasus PAK yang dilaporkan masih sangat kecil, di bawah 100 kasus. Kasus PAK tersebut didominasi pada gangguan tulang belakang, pendengaran, gatal-gatal pada kulit karena zat kimia, dan gangguan kulit pada tangan," ujar Krishna.

Krishna menambahkan, diagnosis untuk peserta mengalami PAK ditentukan berdasarkan surat keterangan dokter spesialis yang berkompeten di bidang kesehatan kerja. Bahkan, peserta berhak atas manfaat perlindungan PAK meskipun sudah tidak bekerja, yaitu maksimal 3 (tiga) tahun sejak hubungan kerja berakhir.

Sebelumnya, Keppres No.22 tahun 1993 hanya mengatur 31 jenis PAK, maka dalam Perpres No.7 Tahun 2019 ini, jenis PAK dibagi dalam empat kelompok yaitu jenis penyakit yang disebabkan oleh pajanan faktor yang timbul dari aktivitas pekerjaan, berdasarkan sistem target organ, kanker akibat kerja dan penyakit spesifik lainnya.

"Kami siap menangani kasus PAK sesuai Perpres terakhir dengan sekitar 88 jenis PAK, lebih lengkap dibandingkan regulasi sebelumnya. Bahkan, di luar itu, penyakit lain masih dapat dilaporkan sebagai PAK, dengan syarat penyakit tersebut harus memiliki hubungan langsung dengan penyakit yang dialami pekerja, dan harus dapat dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat," kata Krishna.

Untuk implementasi di lapangan, Krishna menyatakan akan berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan (BPJSKES) sesuai dengan Permenkeu No.141 Tahun 2018 tentang Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Pemberian Manfaat Pelayanan Kesehatan.

"Secara bertahap sinergi layanan antara BPJSTK dan BPJS-KES berupa mekanisme pelaporan, penjaminan, dan pelayanan RS untuk kasus kecelakaan kerja dan PAK yang sesuai dengan program JKK akan disosialisasikan kepada pihak rumah sakit, perusahaan dan seluruh kantor cabang. Kami juga akan menyiapkan sistem informasi yang terintegrasi antara BPJSTK dan BPJSKES khusus untuk penanganan kasus kecelakaan kerja dan PAK," ujar Krishna.

Krishna menyadari saat ini banyak regulasi yang terkait dengan penanganan kasus kecelakaan kerja dan PAK yang perlu disinergikan, yaitu PP No.44/2015, Permenaker No.26/2015, PMK 141/2018 dan yang terakhir Perpres No.7/2019.

BPJSTK dan Kementerian Ketenagakerjaan serta kementerian dan lembaga terkait telah melakukan revisi atas substansi PP No.44/2015 untuk menyesuaikan dengan semua regulasi-regulasi yang ada, termasuk peningkatan manfaat-manfaat bagi program JKK.

Revisi tersebut akan segera diterbitkan dalam waktu dekat oleh pemerintah, dan dijadikan sebagai dasar hukum untuk implementasi pelaksanaan sinergi layanan kesehatan untuk kasus kecelakaan kerja dan PAK. "Semua ini dilakukan untuk meningkatkan manfaat dan pelayanan bagi kesejahteraan pekerja Indonesia,” ucap Krishna. 

Baca juga: BPJS-TK siap bayar klaim penyakit akibat kerja
Baca juga: Penyakit akibat kerja berpotensi habiskan Rp300 miliar setahun
Baca juga: BPJS-TK latih 20.000 pekerja ter-PHK tahun ini

Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019