Jakarta (ANTARA) - Beberapa pengelola jamban komunal di Kelurahan Duri Pulo, Jakarta Pusat, berharap pemerintah membantu pengelolaan air limbah domestik agar kawasan itu tetap bebas buang air besar sembarangan.

Menurut pengelola jamban komunal (WC Umum) di RT12 RW09 Kelurahan Duri Pulo, Syaifulloh (56), biaya sedot tinja yang cukup tinggi masih menjadi masalah bagi sebagian warga di kelurahan yang pada Februari ditetapkan sebagai daerah bebas buang air besar sembarangan tersebut.

"Saat ini, saya masih memakai jasa sedot WC untuk menguras septic tank. Cuma saya dengar ada bakteri yang dapat mengurai tinja. Jika pemerintah dapat menyediakan itu saya sangat terbantu," kata Syaifulloh saat ditemui di kediamannya, Rabu.

Syaifulloh, ketua RT12 RW09 Kelurahan Duri Pulo, mengeluarkan Rp500 ribu sampai Rp600 ribu untuk biaya sedot tinja.

"Buat saya, jujur pengeluaran itu cukup berat walaupun warga yang menggunakan WC Umum biasanya bayar. Hasilnya tidak sebanding karena tarif pakai WC sifatnya sukarela," kata Syaifulloh.

Syaifulloh sebenarnya setiap bulan bisa membeli satu jeriken isi 25 liter bakteri pengurai limbah dengan harga Rp100 ribu untuk mengatasi masalah pengolahan limbah jamban komunalnya. Namun dia belum tahu cara mendapatkannya.

Seperti Syaifulloh, pengelola WC Umum di RT08 RW09, Kelurahan Duri Pulo, Sumarno (55), juga berharap pemerintah membantu biaya penyedotan septic tank.

"Saya tiap bulan harus membayar Rp650 ribu untuk sedot septic tank. Sedot tinja septic tank WC Umum harus tiap bulan, kalau tidak luber," kata Sumarno di jamban komunal miliknya, Rabu.

Sumarno mengenakan tarif Rp2.000 pada warga menggunakan WC Umum miliknya. Namun uang yang ia kumpulkan dari jamban komunal itu belum bisa menutup seluruh biaya operasional. Pasalnya, di luar ongkos penyedotan tinja dan listrik, Sumarno harus menyumbang biaya pemeliharaan ke petugas RT dan RW.

"Uang dari WC Umum ini kurang lebih Rp1 juta tiap bulan," kata Sumarno.

Sebagian besar warga RW 09 Kelurahan Duri Pulo masih bergantung pada tiga WC Umum yang tersebar di RT12 dan RT08. Alasannya, warga kawasan itu kebanyakan belum memiliki jamban yang dilengkapi septic tank karena lahan di dalam rumah terbatas dan biaya pembuatannya cukup mahal.

Sekretaris Kelurahan Duri Pulo Mei Diana Nababan mengatakan kelurahan belum bisa mendanai pemeliharaan jamban komunal karena belum ada anggaran untuk kebutuhan tersebut.

"Peran kelurahan sejauh ini lebih ke persoalan sosialisasi, khususnya pengerahan kader-kader untuk mengampanyekan gerakan stop buang air besar sembarangan," kata Mei.

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, ia mengatakan, sempat mendatangi kantor kelurahan untuk membahas pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

"Mereka menanyakan lokasi pembangunan IPAL karena sejauh ini belum ada instalasi pengolahan di Duri Pulo," kata Mei.

Duri Pulo merupakan satu dari 23 kelurahan yang memiliki sertifikat bebas buang air besar sembarangan (BABS) di Jakarta. Kelurahan lain yang telah ditetapkan sebagai kawasan bebas BABS, di antaranya Gondangdia, Guntur, Setiabudi, Melawai, Selong, Semper Barat, Duri Utara, Pekojan, dan Sukabumi Utara.
 

Pewarta: Virna P Setyorini/Genta Tentri Mawangi
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019