Jakarta (ANTARA) - Perkembangan era digital membawa banyak perubahan, bukan saja dari sisi teknologi, tapi juga berdampak pada industri musik di Indonesia.

Saat ini, penikmat musik begitu mudah mendengarkan lagu, cukup mengunduh aplikasi melalui smartphone kemudian memilih tembang yang ingin didengar. Padahal, sebelum adanya streaming musik online, masyarakat yang mau menikmati musik harus memiliki compact disc (CD), kaset pita, hingga vinyl atau piringan hitam.

Namun, tidak semua kalangan gemar menikmati musik secara online. Ada juga kalangan yang justru mengoleksi piringan hitam dengan sejumlah kelebihan yang ditawarkan.

Piringan hitam pun mengalami titik balik, setelah mengalami masa surut imbas teknologi digital industri musik.

Dengan kualitas suara yang hampir menyerupai data mentah, piringan hitam ini kembali diminati oleh dunia rekaman. Untuk mendengarkan rekaman piringan hitam tentunya wajib memiliki turn table, phono amplifier dan speaker.

Masing-masing ukuran piringan memiliki nilai putaran per menit (rpm) yang berbeda. Ukuran 12 inci diputar dengan kecepatan 33 rpm dan 7 inci diputar dengan kecepatan 45 rpm.

Tidak sulit mencari piringan hitam karena banyak toko musik yang mulai menjajakannnya. Tempat tujuan untuk mencari piringan hitam di Jakarta adalah Blok M Plaza, salah satunya adalah Paperpot Record.

Handika Fardi (30), pemilik Paperpot sekaligus kolektor piringan hitam mengatakan minat masyarakat terhadap piringan hitam masih tinggi.

Dia menyatakan, banyak masyarakat yang datang untuk membeli piringan hitam, bahkan pembelinya tidak menyasar kalangan lansia melainkan kaum milenial.

"Sekarang semakin banyak orang datang, dari SMP sampai yang usia 50an tahun, makin banyak pelaku seriusnya," kata Fardi.

Fardi menceritakan piringan hitam yang ia jual selain berasal dari koleksi pribadi, juga berasal dari para kolektor yang datang menjual koleksinya. Tidak jarang, ia juga berkeliling dari rumah ke rumah kolektor untuk mendapatkan barang koleksi itu.

"Kecintaan saya sama piringan hitam, karena ada dua seni yang bisa saya nikmati, saya bisa nikmati lagunya dan covernya dan juga piringan hitam lebih awet," kata Fardi.

Harga piringan hitam yang menjadi bisnis Fardi pun bervariasi, sesuai dengan tipe piringan hitam dan kelangkaannya, artis atau band hingga genre lagunya.
Susana Paperpot di Paperpot Record, di Blok M Plaza, Jakarta, Kamis (14/3) (ANTARA News/Galih P)


Di Paperpot menjual semua jenis genre dari dalam dan luar negeri, untuk piringan hitam termurah dengan harga Rp75 ribu hingga termahal Rp2 juta, salah satunya band The Beatles album "Abbey Road" yang dibanderol dengan harga Rp600 ribu.

Salah satu pecinta piringan hitam, Rendra (27), mengatakan tidak ada patokan harga piringan hitam, karena yang menentukan adalah pola pendekatan dan komunikasi antara pedagang sehingga terjadi kesepakatan harga.

"Ketika di Yogyakarta saya mencari piringan hitam dari rumah ke rumah, sambil melakukan pendekatan secara pribadi kepada pedagang," kata Rendra.

Rendra menceritakan sudah memiliki 1.000 keping piringan hitam, yang dikumpulkan dari berbagai tempat.

"Cari di loakan daerah Jawa Barat, Jawa Tenggah dan Yogya, ngobrol-ngobrol sama pedagangnya sampai di rumah pedagangnya, dapat piringan hitam dari koleksi pribadinya," kata dia.

"Kualitas yang baik mendorong pendengar memilih untuk mendengarkan piringan hitam, harga enggak masalah," kata Rendra.

Piringan hitam memberikan kepuasan tersendiri bagi para penggemarnya. Hasil suara yang jernih bisa menjadi nilai tambahan tersendiri yang dimiliki piringan hitam.

Hal itu berbeda dengan musik digital yang ter-compress sedemikian rupa untuk kebutuhan ukuran file sehingga mengurangi kualitas suara.

(Penulis: Peserta Susdape XIX/Galih P)
 

Pewarta: Peserta Susdape XIX/Galih P
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019