Infrastruktur yang disiapkan berupa tempat sampah organik dan nonorganik agar tidak bercampur. Sampah organik dapat dijadikan sebagai pupuk, namun kalau bercampur zat kimia dari baterai dan plastik contohnya, justru menjadi racun, karena itu harus di
Tanjungpinang (ANTARA) - Limbah plastik yang sebagian besar diproduksi rumah tangga mengancam ekosistem perairan di Provinsi Kepulauan Riau, kata pengamat limbah mikro plastik, Agung Dharmar Syakti.

"Sampah nonorganik seperti plastik harus dikendalikan dari hulu, dengan menyiapkan infrastruktur dasar dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarang," ujarnya, yang juga Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), yang dihubungi di Tanjungpinang, Sabtu.

Ia menambahkan infrastruktur yang disiapkan berupa tempat sampah organik dan nonorganik agar tidak bercampur. Sampah organik dapat dijadikan sebagai pupuk, namun kalau bercampur zat kimia dari baterai dan plastik contohnya, justru menjadi racun, karena itu harus dipisahkan sehingga bermanfaat.

Pengelolaan sampah plastik untuk kepentingan industri, seperti botol plastik juga perlu dikembangkan, di samping disiapkan mesin penghancur sampah nonorganik.

Mesin incenerator yang menghancurkan sampah plastik memang masih menyisakan permasalahan lantaran asap yang ditimbulkan toksin. Karena itu, risiko tersebut harus dikurangi dengan menyiapkan teknologi yang lebih canggih.

"Tempat pembuangan akhir itu juga menimbulkan permasalahan, karena sampah akan menumpuk tinggi. Semestinya sampah itu dihancurkan dengan mengambil risiko terendah," ucapnya.

Agung menjelaskan pengelolaan limbah plastik merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat sampai sekarang belum dilakukan Pemprov Kepri dan pemerintah kabupaten dan kota secara maksimal. Padahal dari data Dinas Lingkungan Hidup contohnya sampah plastik di Kepri mencapai 1.550 ton/hari, sementara pemanfaatan sampah itu masih tergolong rendah.

Sampah plastik menyebabkan terganggunya estetika di kawasan pesisir, menyebabkan ekosistem laut mati, dan memberi dampak negatif pada kesehatan masyarakat jika mengonsumsi siput yang mengandung mikro plastik.

"Dibutuhkan perda untuk mengatur pengelolaan sampah plastik karena Kepri merupakan wilayah kepulauan dengan 96 persen perairan. Sampah-sampah plastik sampai hari ini masih ditemukan di bibir pantai, dekat perumahan pelantar warga sehingga perlu dikendalikan. UMRAH siap membantu membuat naskah akademis jika dibutuhkan pemerintah. Selama ini, UMRAH sudah menyinggung penanganan permasalahan sampah nonorganik tersebut dalam berbagai pertemuan, namun belum ditindaklanjuti perlu," jelasnya.

Menurut dia, melarang warga menggunakan plastik merupakan kebijakan yang kurang bijak, sebab plastik termasuk ramah lingkungan. Sampah plastik termasuk ramah lingkungan lantaran dapat dikelola menjadi produk yang bermanfaat, contohnya botol plastik.

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019