Hari ini Papua terdampak dari adanya perubahan iklim dengan peristiwa banjir di beberapa daerah di Jayapura, Nabire dan Merauke
Jayapura (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua menyatakan perubahan iklim global sedang melanda dan mengancam keberlanjutan kehidupan manusia dan spesies di mana pun di dunia, termasuk di Tanah Papua.
 

Laporan Panel Perubahan iklim (8/10/2018) menyatakan bahwa pada 2017 Perubahan Iklim telah berada atau mencapai satu derajat celcius dan akan terus melaju hingga melebihi target ambang batas (1,5 derajat celsius), jika manusia belum mengubah pola hidup dengan mengabaikan lingkungan.
 

Salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim adalah deforestasi, kerusakan dan hilangnya tutupan hutan, dikarenakan perubahan alih fungsi hutan dan eskploitasi sumberdaya alam, seperti usaha perkebunan, pembalakan kayu, pertambangan dan penggunaan energi kotor.
 

Aktifitas yang membahayakan manusia dan spesies ini ditimbulkan dari kebijakan negara dan kepentingan kelompok orang tertentu untuk memanfaatkan kekayaan alam secara tidak bijaksana dan tidak adil.
 

Dampak ekstrim dari perubahan iklim adalah terjadinya kelangkaan air, kekeringan yang ekstrim atau sebaliknya terjadi curah hujan yang tinggi hingga terjadi banjir besar.
 

Dampak penting lainnya, meningkatnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), meningkatnya konflik antara masyarakat dan satwa.

 

Banjir Sentani

"Hari ini Papua terdampak perubahan iklim dengan peristiwa banjir di beberapa daerah di Jayapura, Nabire dan Merauke," kata Direktur Walhi Papua Ais Rumbekwan.
 

Menurut dia, peristiwa banjir bandang terjadi di Sentani, Kabupaten Jayapura, mengakibatkan korban jiwa meninggal lebih dari 70 orang, korban hilang puluhan orang, terjadi kerugian harta benda dan ribuan penduduk mengungsi, serta membawa dampak terhadap ekosistem setempat. Dampak tersebut pada gilirannya menjadi bencana bagi manusia.
 

"Kami memandang peristiwa banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua pada Sabtu (16/3) malam bukan peristiwa alam biasa, melainkan dan diduga adanya para pihak yang tanpa sadar bahkan sengaja mengabaikan lingkungan dengan alih fungsi lahan dan pembalakan untuk berbagai kepentingan," katanya.
 

Ais mengatakan, dugaan ini ditandai dengan jumlah dan jenis kayu yang terbawa banjir serta dugaan lain adalah 17 tahun hilangnya tutupan pohon di wilayah Cagar Alam Cyclops.
 

Banjir Bandang yang terjadi saat ini adalah konsekwensi yang tidak dapat dihindari karena dugaan ulah manusia dan kebijakan negara. Hilangnya tutupan pohon, memiliki hubungan dengan kurangnya perhatian para pihak terhadap lingkungan hidup.

 

Tinjau RTRW

Karenanya Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura, segera meninjau dan mengkaji perencanaan pembangunan dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kabupaten Jayapura, dengan melibatkan seluas-luasnya masyarakat yang potensial terkena dampak langsung.
 

Pemerintah dan berbagai pihak seharusnya mengarusutamakan isu lingkungan hidup dalam berbagai perencanaan pembangunan, mengembangkan kebijakan dan praktik pemanfaatan dan penggunaan lahan untuk pemukiman, perkebunan, pembalakan kayu dan usaha ekonomi masyarakat, secara lestari dan berkeadilan.
 

Walhi Papua mengingatkan dan mendesak pemerintah saat ini agar nantinya segera mengambil langkah mitigasi dan adaptasi untuk mengantisipasi bencana susulan atau yang bakal terjadi dikemudian hari.
 

Sebab bencana seperti ini sudah pernah terjadi. Jika kembali terjadi (saat ini), memperlihatkan para pihak tidak peduli pada pemeliharaan lingkungan, bahkan sebaliknya telah mengubah fungsi pokok lingkungan dan tutupan pohon pada lokasi tertentu di seputar Cagar Alam Cyclops, serta kurang tegasnya atau terjadi pembiaran terhadap para pihak yang dengan sengaja melakukan perubahan fungsi hutan.

 

Lestarikan lingkungan

Walhi Papua menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat agar ikut melestarikan dan melindungi lingkungan sehingga dapat terhindar dari ancaman perubahan iklim global, pemanasan global dan bencana banjir bandang yang meningkatkan kerugian yang sulit dipertanggungjawabkan oleh setiap kita.
 

Bencana banjir bandang ini menjadi pembelajaran penting untuk semua instansi, baik pemerintah di Papua maupun Pemerintah Pusat, agar tidak mengeluarkan izin-izin konsesi kepada korporasi atas nama negara.
 

Pembangunan dan kesejahteraan yang dikejar hendaknya tidak memicu perubahan iklim yang pada gilirannya merugikan masyarakat dengan berbagai persoalan kemanusiaan. Dan hutan adalah titipan anak cucu ke pada insan saat ini.*


 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019