Jakarta (ANTARA) - Ketika gumpalan awan pekat berpencar satu-satu di malam yang semakin larut. Semilir angin berembus membuat bulu kuduk merinding, namun Rojak bersama rekannya Sanan tak gentar berpatroli mengitari hutan kota gelap yang luasnya 15,3 hektar di Jalan Kelik, Kembangan, Jakarta Barat.

Masyarakat sekitar mengenal tempat ini sebagai Danau Srengseng, karena memang awalnya hanya berupa danau dan tanah lapang.

Sejak diresmikan pada 1995 saat R Soeprapto menjabat Gubernur DKI Jakarta, mulailah kawasan ini dikenal sebagai hutan lindung. Namun akses masuknya tidak sembarangan sebab hutan tidak dibuka untuk umum.

Pada 2010 diubah lagi menjadi hutan kota di masa pemerintahan Fauzi Bowo karena permintaan masyarakat yang menuntut disediakan ruang terbuka hijau.

"Kawasan hutan kota Srengseng ini dulunya bekas tempat pembuangan sampah, kemudian diubah menjadi hutan atas desakan masyarakat yang keberatan dengan bau yang ditimbulkan," ujar Rojak saat ditemui di Hutan Kota Srengseng Minggu (17/3).

Saat ditemui, Rojak (48), pria berkumis asal Cianjur, Jawa Barat, yang sudah bekerja di hutan kota Srengseng sejak 2016, serta Sanan (40), pria asli Jakarta yang baru bergabung setahun lalu.

Keduanya anggota pengamanan dalam (pamdal) kehutanan di Hutan Kota Srengseng. Tugas pokok keduanya adalah menjaga ketertiban di ruang lingkup Hutan Kota Srengseng termasuk di dalamnya mendata pengunjung serta menjaga fasilitas milik Dinas Kehutanan DKI Jakarta.

Tiap malam, kedua petugas itu harus berpatroli sebanyak dua kali. Patroli pertama mulai pukul 21.00 WIB hingga 22.00 WIB serta patroli kedua mulai jam 2 dinihari hingga jam 3 dinihari.

"Sebab tak seperti sekarang, hutan lindung di sini dulunya terlarang dijamah masyarakat," ujar Sanan menimpali.

Sejak diresmikan sebagai hutan kota, pengunjung pun mulai berdatangan sekitar 200 orang setiap libur akhir pekan.

Fasilitas Hutan Kota Srengseng Selain menikmati berbagai sudut kota yang asri, pengunjung juga akan dimanja oleh beragam fasilitas yang tersedia di hutan kota Srengseng ini, diantaranya ada ruang bermain anak seperti perosotan, jungkat-jungkit, dan lain-lain.

Ada juga ruang terbuka berbentuk teater yang sering dipakai warga bila menghelat acara kumpul bareng dan semacamnya.

Hutan Kota Srengseng juga dilengkapi dengan musola dan gazebo. Namun yang paling terkenal dari Hutan Kota Srengseng ini adalah danaunya. Banyak wisatawan dan warga sekitar yang berkunjung kemari untuk memancing.

Apalagi untuk setiap ikan yang ditangkap tidak ada dipungut biaya, hanya membayar biaya masuk hutan saja. Untuk memasuki hutan kota Srengseng, biasanya wisatawan hanya membayar tiket retribusi penerimaan daerah sebesar Rp2.000 per orang.

Loket tiketnya terletak tak jauh dari gerbang masuk. Nantinya biaya retribusi semuanya akan disetor ke kas daerah dan selalu diaudit setiap harinya. Jam buka kawasan ini pada pukul 07.00 WIB dan akan ditutup pukul 18.00 WIB setiap harinya, namun pada pukul 17.00 WIB biasanya sudah ada pemberitahuan bahwa hutan akan ditutup.

"Dari jam 17.00 ke jam 18.00 WIB biasanya kami cuma menunggu wisatawan yang mau keluar hutan saja, jadi tidak lagi menjual tiket masuk," ujar Rojak.

Pengunjung Gelap

Rojak merasa perlu melakukan penutupan agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan.

"Tentunya pertama kita mencegah jangan sampai ada perbuatan asusila di dalam hutan, kedua jangan sampai aset dan fasilitas di dalam dirusak, dan ketiga jangan sampai ada maling dari rumah warga kabur ke dalam hutan," ujarnya.
Seorang anggota pengamanan dalam (Pamdal) Hutan kota Srengseng, Rojak, diajak berfoto bersama pengunjung dari salah satu taman kanak-kanak kebon jeruk di kawasan Hutan kota Srengseng, Jl. H. Kelik, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat, Rabu (06/3/2019). (Dok. Istimewa)


Namun hingga waktu ini, Rojak belum menemukan ketiga hal ini terjadi sebab pengamanan dilakukan selama 24 jam. Dikatakan Sanan, petugas telah mengamankan kawasan hutan kota secara ketat, namun pengamanan agak longgar ketika warga sekitar yang masuk dari jalan belakang.

"Katanya sih itu akses anak sekolah lewat, tapi kalau diperhatikan jarang juga anak sekolah yang lewat akses itu," kata Sanan lagi.

Selain itu terdapat pula empat titik tembok yang rusak yang sudah dilaporkan ke dinas untuk diperbaiki totalnya sepanjang 178 meter.

"Yang terpanjang berukuran 64 meter," ujar Sanan.

Menurut Sanan, dulu tembok ini sengaja dijebol untuk akses masuk alat berat sewaktu relokasi pelebaran danau, namun saat ini belum ditutup kembali. Akibat dari tembok yang rusak ini, jadi banyak pengunjung ilegal berdatangan dari titik-titik tersebut.

"Kayak kemarin tiket yang terjual cuma 200 tiket, tapi ketika dicek ke dalam jadi lebih banyak lagi orangnya," ujar Rojak.

Menurut Rojak, hal itu tentu berdampak ketika audit retribusi dilakukan. Kadang ia merasa cemas takut dituduh yang tidak-tidak oleh pengawas hutan kota dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Padahal pengamanan sudah mereka lakukan sesuai prosedur.

Penanggung Jawab Hutan Kota Srengseng, Dany Trofisa mengakui pembahasan soal pagar tembok ini sudah menjadi agenda dinas kehutanan DKI Jakarta.

Dany mengatakan rencana renovasi tembok akan dilangsungkan tahun ini namun belum diketahui tanggal pasti pelaksanaannya.

"Rencana tahun ini akan dilaksanakan pembangunan tembok sudah beberapa kali survei ke lokasi yang dimaksud. Anggarannya sudah siap, karena sudah jadi DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) 2019," ujar Dany.

Dany juga mengakui bahwa sering ada pengunjung ilegal yang masuk lewat jalan yang rusak itu tanpa sepengetahuan pengawas.

Makanya tahun ini mau dipagar kembali. Kini dengan jumlah tenaga pamdal di Hutan Kota Srengseng hanya enam orang, mereka mencoba memaksimalkan tenaga yang ada untuk pengawasan yang lebih ketat.

Setiap hari mereka membagi jam kerja menjadi dua sif untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Masing-masing shift sekitar 12 jam akan dijaga sebanyak tiga orang.

"Shift satu masuk dari jam 07.00 ke jam 17.00 WIB, ketika itu shift dua kita liburkan. Nanti kalau sudah jam 17.00 WIB, akan ada serah terima tugas ke sif dua. Lalu shift dua akan bekerja dari pukul 17.00 hingga pukul 07.00 WIB besoknya," jelas Rojak.

Meski bekerja selama 12 jam, Rojak tak mau mengeluh. Malah ia mensyukuri kerja saat ini mengamankan hutan. Menurutnya setiap pekerjaan ada suka dukanya sendiri, hanya tergantung manusia yang menjalaninya saja.

Baca juga: Hutan Kota Srengseng alternatif lokasi libur lebaran

Baca juga: Anies tinjau kondisi jembatan gantung di Srengseng Sawah

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019