Rencananya pada 7 April 2019, tentunya untuk bertemu dengan parlemen Uni Eropa
Jakarts (ANTARA) - Pemerintah siap mengirim delegasi ke Uni Eropa untuk memberikan penjelasan sebagai respons atas langkah diskriminatif terhadap sawit, yang telah dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi.

"Rencananya pada 7 April 2019, tentunya untuk bertemu dengan parlemen Uni Eropa," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam jumpa pers di Jakarta, Senin.

Tujuan delegasi ini adalah memberikan tanggapan atas rancangan peraturan Komisi Eropa yaitu Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the EU Renewable Energy Directive II.

Secara garis besar rancangan itu akan mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel Uni Eropa, sehingga dapat menguntungkan produk minyak nabati lainnya.

Saat ini, Komisi Eropa juga telah mengadopsi Delegated Regulation No C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on Biofuels pada 13 Maret 2019.

Dokumen ini akan diserahkan kepada Dewan dan Parlemen Uni Eropa melalui tahap scrutinize document dalam waktu dua bulan ke depan.

"Rencananya, paling lambat dua bulan, tapi dalam perjalanannya bisa lebih cepat dari dua bulan, jadi kita perlu menyampaikan pandangan dan posisi kita mengenai delegated regulation," ujar Darmin.

Terdapat 10 agenda yang akan dibawa oleh delegasi yang beberapa di antaranya mengenai pengelolaan sawit berkelanjutan, produktivitas minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya, dan penciptaan lapangan kerja.

Darmin mengatakan pemerintah saat ini sudah melakukan berbagai langkah agar pengelolaan sawit terus berkelanjutan melalui penanaman kembali untuk mendorong produktivitas.

"Kita benahi pengelolaan supaya sawit lebih berkelanjutan dengan melakukan replanting secara intensif sejak tahun lalu dan melakukan moratorium pembukaan lahan," ujarnya.

Selain itu, tambah dia, minyak sawit saat ini mempunyai produktivitas beberapa kali lipat dibandingkan komoditas minyak nabati lainnya seperti bunga matahari.

"Kalau satu hektare tanah ditanami sawit, bisa menghasilkan delapan sampai 10 ton. Kalau yang lain, boleh jadi hanya satu ton. Jadi, bisa delapan sampai 10 kali lipat dari minyak nabati lainnya," ujar Darmin.

Selama ini, pengadaan minyak sawit ini juga telah menciptakan lapangan kerja bagi 17 juta pekerja di Indonesia, sehingga secara tidak langsung memberikan manfaat sosial ekonomi yang besar.

Oleh karena itu, langkah keberatan yang juga disepakati oleh dua produsen sawit lainnya, Malaysia dan Kolombia ini, merupakan upaya untuk melawan standar ganda yang diterapkan Uni Eropa.

"Karena ini diskriminatif dan pihak-pihak sana selalu bicara kerja sama multilateralisme, kita juga siap membawa ini ke WTO, karena bisa diuji langkah-langkah mereka adalah langkah-langkah yang fair atau proteksionisme dengan berbagai macam tudingan," ujar Darmin.

Baca juga: Menko Perekonomian: Negara produsen sawit kirim misi ke UE
Baca juga: Permintaan domestik naik, ekspor CPO diperkirakan tetap tumbuh 4-5 persen 2019

Pewarta: Satyagraha
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019