Semarang (ANTARA) - Percaya atau tidak, pemilihan umum merupakan ajang berdemokrasi yang bisa diikuti siapa saja yang memiliki hak suara.

Mereka memiliki hak yang sama, satu orang satu suara, entah mereka yang berasal dari lapisan masyarakat mayoritas maupun masyarakat minoritas.

Indonesia tidak mengenal istilah diktator mayoritas dan tirani minoritas. Terlebih dalam berdemokrasi, setiap warga negara dijamin haknya untuk memilih dan dipilih sesuai ketentuan perundang-undangan.

Pemilu mempererat kemajemukan masyarakat Indonesia dengan beragam agama dan penghayat kepercayaan yang hidup di nusantara.

Data dari Kementerian Dalam Negeri pada 2017 terdapat sekitar 12 juta penghayat kepercayaan dan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun yang sama menunjukkan terdapat 187 organisasi atau kelompok penghayat kepercayaan, tersebar di 13 provinsi. Terbesar berada di Jawa Tengah, yakni sebanyak 53 kelompok atau komunitas.

Meskipun jumlah organisasi atau kelompok penghayat kepercayaan lebih banyak dibandingkan dengan enam agama resmi di Indonesia, mereka merupakan kalangan minoritas.

Salah satu kelompok itu adalah Sedulur Sikep. Mereka penghayat kepercayaan pengikut Samin Surosentiko atau Raden Kohar, yang muncul di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada abad ke-19 sebagai bentuk perlawanan atas pemerintah kolonial Belanda. Ajaran ini menyebar di daerah sekitar Blora, seperti di Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati.

Untuk mengetahui respons mereka menjelang Pemilu 17 April 2019 secara serentak memilih Presiden/Wapres, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, ANTARA secara khusus mengunjungi kelompok Sedulur Sirep di Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Bagaimana mereka merayakan demokrasi Indonesia?
 

Baca juga: Suara dari Kampung Naga
Baca juga: Pemilu adalah kegembiraan orang-orang pulau


Di Desa Karangrowo terdapat 53 keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 180 orang pengikut Sedulur Sikep.

Jalan menuju komunitas Sedulur Sikep di perbatasan Kudus dan Pati ini dipenuhi hamparan persawahan yang menguning, sebagian mulai panen padi. Jalan menuju desa tersebut semuanya telah dibeton. Memang tak lebar tetapi memudahkan mobilitas warga.

Di desa yang tenang itu tinggal Wargono, tokoh Sedulur Sikep. Rumah Wargono menyatu dengan warga lain, bahkan tidak jauh dari rumah tersebut berdiri masjid.

Kendati zaman berubah kencang, warga Samin hingga kini tetap dikenal sebagai sosok lugu sehingga banyak yang menilai mereka tidak tersentuh perkembangan teknologi dan informasi.

Sebagian besar, mereka tidak menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan formal. Orang tua langsung mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka di rumah.

"Buktinya anak-anak kami juga bisa hidup baik," kata Niti Rahayu istri Wargono. Mereka tinggal di desa itu bersama enam anak, 16 cucu, dan empat cicit.

Pengikut ajaran Samin tersebut menggantungkan hidup sebagai petani yang hasilnya dikonsumsi sendiri.

Tempat tinggal warga Samin berada di daerah pedesaan untuk mendekatkan diri dengan lahan pertanian sehingga akses informasi dunia luar kurang begitu menjadi perhatian.


Tak ada golput

Meskipun mereka lebih sering berinteraksi dengan sesama penghayat kepercayaan Sedulur Sikep, dalam menghadapi pemilu ini justru menjadi urusan wajib dan tidak ada istilah golongan putih (golput).

Mereka tahu tentang Pemilu 2019 yang digelar serentak bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.

Wargono dan keluarganya sedikit-banyak mengetahui informasi soal Pemilu 2019 kendati belum ada sosialisasi langsung kepada komunitas Samin tersebut.

Oleh karena itu warga Sedulur Sikep yang dikenal teguh menganut ajaran leluhurnya itu menyatakan siap menyukseskan Pemilu 2019.

"Sedulur Sikep tentunya tidak ada yang golput," ujarnya.

Sesuai ajaran leluhurnya, bahwa hadir di tempat pemungutan suara (TPS) dalam pemilu merupakan bagian dari ketaatan terhadap pemerintah.

Kesediaan hadir di TPS, katanya, menjadi bagian dari sikap kerukunan antarsesama warga.

"Jika ada yang memilih golput, perlu ada penjelasan sebab-musababnya," ujarnya dalam bahasa jawa.

Wargono yang dituakan di kalangan Sedulur Sikep di Desa Karangrowo mengakui memang belum mendapatkan sosialisasi soal Pemilu 2019 dari KPU Kudus.

Meskipun demikian, dirinya bersama keluarganya sering kali dikunjungi calon anggota legislatif, baik tingkat kabupaten, provinsi, hingga DPR RI.

Secara tidak langsung, mereka juga mendapatkan penjelasan soal Pemilu 2019 dari para caleg yang berkunjung untuk meminta doa restu.

Informasi tersebut makin berlimpah dengan banyaknya alat peraga kampanye yang terpasang di dekat rumahnya, di pertigaan jalan desa.

Pemasangan alat peraga kampanye tersebut dinilai kalangan Sedulur Sikep menjadi bagian sosialisasi bahwa nantinya akan ada pemilu untuk memilih calon wakil rakyat, termasuk DPD dan presiden.

Sepanjang jalan menuju komunitas Sedulur Sikep memang ditemui banyak alat peraga kampanye, terutama calon anggota legislatif.

Keluarga Wargono sudah memiliki gambaran siapa yang hendak mereka pilih karena merasa sudah ada kedekatan dengan beberapa calon anggota legislatif.

Sejumlah caleg yang mendatangi rumah sesepuh Sedulur Sikep di Dukuh Kalioso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus itu, memang tidak ada yang menyatakan minta untuk dipilih pada 17 April 2019. Mereka hanya minta doa restu untuk maju sebagai caleg.

Apalagi, warga Sedulur Sikep memiliki pilihan sendiri dan berbeda dengan masyarakat pada umumnya ketika ditanya pilihannya siapa nanti. Mereka memiliki gambaran caleg yang dipilih.


Sosialisasi Pemilu

Jika ada anggapan Sedulur Sikep ketinggalan zaman, tentu saja itu tidak benar.

Warga Samin mengikuti perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat karena mereka sehari-hari juga menonton televisi di rumah mereka, termasuk informasi seputar pemilu.

Niti Rahayu mengakui sering kali menonton televisi namun perdebatan soal politik yang terjadi sering membuatnya tidak bisa mengikuti jalan pemikiran para politisi.

Perdebatan yang tayang di televisi berbeda dengan sikap hidup yang diajarkan orang tua mereka. Leluhur mereka mengajarkan kerukunan dengan sesama umat manusia. Ajaran itulah yang tetap diterapkan hingga hari ini.

Kehidupan Sedulur Sikep bisa rukun, damai, dan tenteram karena mereka menjauhkan sikap iri, dengki, jahil, dan sombong.

KPU Kudus pada 13 Maret lalu menyelenggarakan sosialisasi pemilu bagi warga Sedulur Sikep di Desa Karangrowo. Sosialisasi Pemilu oleh KPU setempat itu untuk memberikan pendidikan tata cara mengikuti Pemilu serta mengajak kepada penganut ajaran Samin Surosentiko untuk memberikan hak suaranya pada Pemilu 17 April 2019 mendatang. Sosialisasi di balai desa itu diikuti 32 orang warga Sedulur Sikep.
Petugas relawan demokrasi mengenalkan surat suara kepada warga Sedulur Sikep atau penganut ajaran Samin Surosentiko saat sosialisasi Pemilu di Desa Karangrowo, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (13/3/2019). Sosialisasi Pemilu oleh KPU setempat itu untuk memberikan pendidikan tata cara mengikuti Pemilu serta mengajak kepada penganut ajaran Samin Surosentiko untuk memberikan hak suaranya pada Pemilu 17 April 2019 mendatang. (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj)


Menurut Anggota KPU Kudus Ahmad Kholil, sosialisasi Pemilu 2019 kepada warga Samin memang diperlukan karena selama ini mereka merupakan kelompok minoritas yang dikhawatirkan belum mendapatkan informasi secara lengkap soal pemilu.

Apalagi pemilu yang digelar tahun ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Jangan sampai karena alasan tidak mengetahuinya saat di bilik justru dicoblos semuanya tanpa mau membuka masing-masing surat suara yang diterima yang berjumlah lima lembar.

Dengan adanya sosialisasi tersebut, dia berharap, semua warga sikep bersedia menyalurkan hak pilihnya pada 17 April 2019.

Baca juga: KPU Kudus sosialisasi Pemilu 2019 kepada warga Samin

KPU Kudus akan membuat spesimen surat suara yang tidak ada logo partai politiknya, sehingga bisa dijadikan simulasi pencoblosan untuk melatih warga, terutama sedulur sikep.

Kepala Desa Karangrowo Heri Darwanto mengaku berterima kasih dengan adanya sosialisasi Pemilu 2019 itu karena dapat menginformasikan kepada warga tersebut dalam menggunakan hak pilihnya.

Selama ini, kata dia, warga Sedulur Sikep antusias berpartisipasi dalam pemilu. Hampir 90 persen warga menggunakan hak pilihnya.

Wargono senang berterima kasih dengan sosialisasi pemilu itu karena memberikan gambaran lebih jelas untuk berpartisipasi.

"Saya optimistis saat pencoblosan nanti tidak perlu canggung karena sudah mengetahui bahwa nanti ada lima surat suara yang harus dicoblos," ujarnya.

Jika banyak warga Sedulur Sikep yang merasa dirinya tidak berpendidikan formal sehingga tidak mungkin terlibat dalam penyelenggaran pemilu hingga tingkat bawah, seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), itu keliru.

"Saya pernah menjadi anggota KPPS dan warga setempat memang memberikan kepercayaan," ujar Budi Santoso, tokoh Sedulur Sikep dari Desa Larikrejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus.

Bahkan, warga Sedulur Sikep juga senang sebagai warga negara Indonesia memiliki kewajiban untuk menyukseskan pemilu.

Hal itu, menurut dia, sesuai ajaran leluhur bahwa nantinya setelah Indonesia memiliki pemerintahan sendiri maka warga Sedulur Sikep harus mematuhi pemerintahnya, termasuk mengikuti Pemilu 2019.

Terkait Pemilu 2019, dia mengakui, mendapatkan informasi dari berbagai sumber, baik dari media televisi, dari Sedulur Sikep, maupun dari masyarakat yang kerap membicarakan soal Pemilu 2019.

Di Desa Larikrejo tidak banyak ditemukan alat peraga kampanye. Suasana perkampungan di desa itu masih seperti sebelumnya yang disibukkan dengan aktivitas bertani. Tidak terlihat poster caleg terpasang di jalan-jalan desa.

Kondisi tidak berbeda jauh terjadi pula di kampung Sedulur Sikep di Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.

Masyarakat belum mendapatkan sosialisasi dari KPU setempat sehingga pengetahuan soal Pemilu 2019 hanya dari warga sekitar serta calon anggota legislatif yang bersilaturahmi ke rumah sedulur sikep.

Gunarti, salah seorang warga Sedulur Sikep asal Desa Sukolilo mengakui belum memperoleh informasi soal Pemilu 2019 dari KPU Pati.

Meskipun demikian, perempuan yang juga aktivis lingkungan itu masih bisa mendapatkan informasi dari masyarakat yang kebetulan memperbincangkan soal pemilu.

"Kalaupun hingga mendekati pelaksanaan pemilu belum ada sosialisasi, tentunya masih bisa menanyakan ke petugas KPPS tentang tata cara mencoblos, terutama surat suara untuk pemilihan anggota legislatif," ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Muria Kudus (UMK) Hidayatullah berpendapat warga Sedulur Sikep sebagai kelompok minoritas memang perlu mendapatkan perhatian untuk mendongkrak partisipasi mereka dalam Pemilu 2019.

Partisipasi pemilih diharapkan juga memprioritaskan kualitas pemilu, bukan sekadar angka tingkat kehadiran pemilih di TPS.

Fakta bahwa ada warga Sedulur Sikep yang pernah bertugas sebagai penyelenggara pemilu di tingkat desa menunjukkan bukti bahwa mereka turut menyukseskan agenda besar bangsa ini.

Editor: Budi Setiawanto
Copyright © ANTARA 2019