Jakarta (ANTARA) - Pelabuhan selama ini seringkali dianalogikan sebagai "pintu gerbang" sebuah negara. Hal itulah yang kemudian menginspirasi sejumlah operator pelabuhan di Indonesia untuk berlomba-lomba menampilkan pelabuhannya menjadi yang terbaik, agar kapal-kapal banyak yang berlabuh.

Salah satu pelabuhan yang terus berbenah menjadi pelabuhan terbaik adalah Pelabuhan Tanjung Priok, yang bercita-cita menjadi hub Asia Tenggara.

Namun, untuk mewujudkan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai hub Asia Tenggara bukanlah perkara mudah. Jalan panjang masih harus dijalani, meskipun Pelabuhan Tanjung Priok kini menempati peringkat ke-26 sebagai pelabuhan tersibuk di dunia.

Kapasitas peti kemas Tanjung Priok juga terus mengalami kenaikan. Kalau awalnya masih di kisaran 6 juta twenty-foot equivalent units (TEUs) atau unit ekuivalen dua puluh kaki per tahun, namun saat ini kapasitasnya sudah menjadi 7 Juta TEUs per tahun.

Adalah Jakarta International Container Terminal (JICT) yang merupakan operator untuk mengelola dan mengembangkan terminal peti kemas di Tanjung Priok, termasuk mewujudkan mimpi menjadikan Tanjung Priok sebagai pelabuhan hub Asia Tenggara.

Pada 2018, Presiden Joko Widodo melepas pengiriman ekspor melalui JICT yang dibawa langsung ke Los Angeles, Amerika Serikat, berkapasitas 10.000 TEUs.

Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah mampu melayani kapal-kapal besar dengan tujuan langsung (direct vessel), bukan hanya ke Amerika tetapi juga ke Afrika, Australia, Eropa dan tentunya ke negara-negara Asia, tanpa melalui Singapura.

Potensi efektivitas kemudahan ke pasar negara tujuan mendongkrak efisiensi biaya dan waktu logistik perdagangan internasional, tanpa harus tergantung pada kegiatan singgah (transhipment) di Singapura dan Malaysia

Satukan kekuatan

Menghadapi persaingan global yang semakin ketat, Wakil Direktur Utama JICT, Riza Erivan, bertekad menyatukan seluruh kekuatan di JICT sebagai upaya membawa Tanjung Priok sebagai pelabuhan hub di Asia Tenggara.

Namun untuk mewujudkan hal itu bukanlah perkara yang mudah. Berbagai persoalan menimpa JICT, mulai dari kasus kerugian negara sampai dengan PHK karyawan.

Riza mengakui cara untuk menempuh cita-cita menjadi hub Asia Tenggara memang tidaklah mudah karena membutuhkan kredibilitas yang baik bagi korporasi serta menjaga iklim investasi di Indonesia.

Ricky Virona Martono selaku trainer executive development services - PPM Manajemen menjelaskan untuk menjadikan Tanjung Priok sebagai hub, perlu disiapkan peralatan dan teknologi bongkar muat kontainer ke dermaga, birokrasi yang efisien yang bertujuan untuk menarik perusahaan kapal yang akan bersandar.

Melalui tulisannya di Majalah Swa, Ricky menyebutkan akses transportasi dari pelabuhan menuju titik pengiriman (pabrik, gudang, lokasi konsumen) yang efektif menjadi keharusan.Tujuannya agar barang dapat langsung dikirim dan tidak perlu berlama-lama di pelabuhan.

Keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok apabila ingin menjadi pelabuhan penting bagi perekonomian nasional memang tidak bisa berdiri sendiri perlu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk saling mendukung dan melengkapi.

Kerja sama itu meliputi transfer teknologi, pengembangan sumber daya manusia (human capital development), penguatan jaringan internasional, dan stakeholder endorsing. Kerja sama itu dibutuhkan untuk mendongkrak posisi Indonesia di pasar global.

Memang berbagai upaya yang dilakukan itu tidaklah sia-sia. JICT sebagai operator Pelabuhan Tanjung Priok berhasil memperoleh penghargaan sebagai terminal kontainer terbaik di Asia untuk kategori di bawah 4 juta TEUs per tahun sejak tahun 2011.

Kemudian sebagai operator pelabuhan terbaik, JICT juga telah dipercaya untuk mengirim karyawannya dalam rangka memberikan pelatihan bagi kepelabuhanan dan layanan kontainer terminal di bawah Hucthison Ports Holdings ke Oman dan Tanzinia.

Tersandung kasus

Perusahaan ini memang sempat tersandung kasus terkait indikasi korupsi di JITC yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp4,08 triliun.

Meski demikian, jajaran manajemen memastikan kegiatan operasi perusahaan tidak terganggu dan kegiatan bisnis tetap berlangsung seperti biasa. Di sisi lain, pemeriksaan terhadap kasus tersebut tetap berjalan paralel.

Seperti diketahui, pada 2014 kedua belah pihak pemegang saham telah bersepakat memperpanjang kontrak kerja sama antara Pelindo II dan Hutchison Port Holdings (HPH). Namun dengan adanya tuntutan ini, tentu keputusan akhir berada di tangan pemerintah.

Seharusnya kalau kontrak ini diperpanjang, tentunya akan membawa keuntungan bagi Indonesia. Misalnya, dalam kontrak disebutkan JICT diwajibkan membayar sewa sebesar 85 juta dolar AS setiap tahun ke Pelindo II yang tentunya akan membawa pengaruh yang sangat besar bagi negara.

Perolehan sebesar itu seharusnya dapat digunakan pemerintah untuk membangun pelabuhan-pelabuhan baru di berbagai tempat di Indonesia, sehingga geliat perekonomian dapat terdistribusi sampai ke pelosok-pelosok daerah, serta membuka lapangan pekerjaan baru.

Kasus tidak berhenti sampai di situ, karena kemudian muncul isu terkait dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah karyawan. Manajemen berhasil meredam persoalan tersebut dengan menyatakan PHK hanya dilakukan bagi karyawan yang melakukan pelanggaran serius.

Memang terjadi gelombang PHK, namun itu terjadi pada 400 karyawan perusahaan alih daya yang berakhir masa kontraknya. Namun lagi-lagi, hal ini berhasil diredam manajemen perusahaan.

Riza Erivan mengakui banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan perusahaan untuk mewujudkan Indonesia menjadi pelabuhan terminal peti kemas hub di Asia Tenggara.

Riza menyatakan optimistis melalui kerja sama dengan semua pihak, baik pemerintah, manajemen, karyawan, vendor, termasuk masyarakat, maka JICT mampu memberikan kontribusi signifikan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Menghadapi persoalan yang bertubi-tubi, nampaknya upaya mewujudkan hub Asia Tenggara memang masih membutuhkan kerja keras dan melalui perjalanan yang panjang, bahkan berliku.

Baca juga: Presiden hadiri Deklarasi Pengemudi Truk pelopor keselamatan
Baca juga: Asosiasi: PHK terhadap karyawan alih daya harus sesuai perjanjian
Baca juga: JICT tak toleransi tindakan melanggar hukum karyawannya

 

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019