Jakarta (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendukung dan siap berjuang bersama pemerintah di berbagai forum internasional agar produk minyak sawit (CPO) Indonesia ditempatkan setara dengan minyak nabati lain di pasar Uni Eropa (UE).

Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono menilai sejak awal, UE tidak punya niat baik terkait rancangan aturan "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Direcyive II" yang diajukan pada 13 Maret 2019.

"Sebelumnya, UE berjanji memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memberikan masukan hingga 17 Maret, namun secara sepihak menyetujui sendiri kebijakannya pada t 13 Maret," kata Mukti melalui keterangan resmi di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan perluasan pasar ekspor sawit akan dilakukan melalui negosiasi dengan negara importir di luar UE seperti India, Pakistan, Tiongkok, dan Afrika.

GAPKI juga mendukung langkah pemerintah untuk menggugat Delegated Regulation yang disahkan Komisi Uni Eropa ke organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO).

Menurut Mukti, ada beberapa keuntungan jika gugatan disampaikan melalui WTO, salah satunya karena kebijakan WTO selalu mengacu pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam SDGs, ada 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa/PBB atau United Nations (UN) sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan bumi di antaranya pengentasan masyarakat miskin.

"Indonesia dan Malaysia akan memperjuangkan industri sawit sebagai komoditas yang menjadi sebagai sumber mata pencarian dan sumber pengentasan kemiskinan," katanya.

Sementara itu, Sekjen Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Bambang Aria Wisena menegaskan bahwa pelaku industri sawit nasional tetap pada sikapnya menolak keputusan Komisi Eropa. Alasannya, metodologi penelitian yang digunakan Komisi Eropa tidak fair karena cenderung memberatkan komoditas sawit.

Menurut dia, seharusnya putusan itu lahir dari kajian yang komprehensif. Misalnya perlu ada perbandingan antara CPO dengan minyak bunga matahari, minyak kedelai, atau rapeseed oil.

Sementara dalam draf Delegated Regulatio tersebut, minyak sawit (CPO) diklasifikasikan sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan, sedangkan minyak kedelai asal Amerika Serikat masuk dalam kategori risiko rendah.

"Dibandingkan minyak nabati lain, sawit punya banyak keunggulan. Mengutip kajian International Union for Conservation of Nature (IUCN), sawit lebih hemat 9 kali lipat dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lain dalam penggunaan lahan," kata Bambang.

Selain itu, kelapa sawit memiliki produktivitas 3,8 metrik ton (MT) per hektare per tahun, sedangkan rapeseed oil hanya 0,6 MT dan minyak kedelai 0,5 MT per hektare per tahun.

Di sisi lain, pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan keberlanjutan komoditas tersebut dengan mengeluarkan beragam regulasi, seperti melakukan peremajaan menggunakan bibit yang lebih unggul, sehingga tidak memerlukan perluasan lahan

***1***
 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019