Sampah-sampah yang dihasilkan oleh negara-negara seperti Amerika biasanya dikirim ke Cina, kini setelah Cina melakukan kebijakan tersebut, negara-negara ASEAN menjadi sasarannya
Jakarta (ANTARA) - Indonesia perlu mengantisipasi dampak dari kebijakan "National Sword" dari pemerintah Cina, di mana negara tersebut telah membatasi secara ketat impor sampah plastik.

Cina yang sebelumnya menyerap 45,1 persen sampah dunia, sejak Maret lalu 2018, Cina telah membatasi sampah-sampah impor yang masuk ke negara mereka.

"Sampah-sampah yang dihasilkan oleh negara-negara seperti Amerika biasanya dikirim ke Cina, kini setelah Cina melakukan kebijakan tersebut, negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam menjadi sasarannya," kata pegiat lingkungan BaliFokus Mochamad Adi Septiono di Jakarta, Kamis.

Kebijakan pengetatan impor Cina dimulai dengan berlakunya Operation Green Fence yang berjalan pada tahun 2013 selama 8 bulan, dan dilanjutkan dengan notifikasi ke World Trade Organization pada November 2017, hingga secara resmi berlaku dengan nama yang dikenal dengan National Sword .

Dia mengatakan Malaysia telah kewalahan menerima sampah impor tersebut oleh sebab itu pada Juli 2018 pemerintah Malaysia mencabut impor dari 114 perusahaan.

Mereka juga memperketat standar impor dan telah menargetkan pelarangan impor sampah plastik pada 2021.

Dampak dari "National Sword" Cina juga dirasakan oleh Thailand, pada 2018 kenaikan impor sampah plastik dari Amerika sebesar 2.000 persen atau 91,505 ton. Negara tersebut pun menargetkan pelarangan impor sampah plastik.

"Vietnam pun sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sampah setelah adanya kontainer yang semakin menumpuk berisikan reja plastik, kertas, serta logam di pelabuhannya," kata dia.

Oleh sebab itu pemerintah Indonesia juga harus melakukan hal yang sama untuk melakukan pembatasan timbunan sampah.

Penasehat BaliFokus Yuyun Ismawati melalui telekonferensi mengatakan daripada menggunakan limbah impor untuk kebutuhan industri, lebih baik Indonesia mengembangkan sistem yang memampukan dan insentif untuk meningkatkan jumlah daur ulang sampah dalam negeri.

Indonesia juga perlu melarang penggunaan bahan-bahan B3 sebagai aditif plastik dan saat mendaur ulang plastik.

Dia mengatakan sampah-sampah plastik mengandung bahan kimia karsinogenik, sampah-sampah plastik ini biasanya didaur ulang dan digunakan kembali untuk membuat mainan anak-anak. "Akibatnya dalam jangka panjang bisa meningkatkan risiko kanker," kata dia.

Di Indonesia telah ada regulasi yang mengatur tentang sampah impor yaitu UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan peraturan Kemendag Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 tentang impor limbah non bahan berbahaya dan beracun.

Peneliti ICEL Fajri Fadillah mengatakan dua aturan tersebut sudah cukup kuat untuk mengontrol impor limbah, namun implementasinya masih terus diawasi.

"Pemerintah perlu mengevaluasi kembali perusahaan yang memiliki izin impor plastik dan paper scrap, apakah sudah sesuai perizinan, dan apakah praktik yang mereka lakukan tidak mencemari lingkungan," kata dia.

Indikasi impor sampah plastik ini ditemukan secara nyata di beberapa daerah di Indonesia, seperti Gresik, Jawa Timur.

Di daerah ini, ditemukan beberapa bentuk sampah, seperti serpihan plastik bercampur kertas yang tidak bisa didaur ulang, yang biasanya digunakan untuk bakar tahu atau bahan bakar lainnya, serta sampah plastik, yang bentuknya beragam berupa jenis botol, sachet, kemasan makanan, personal care, serta produk rumah tangga.

Pemerintah seyogyanya mengusut tindakan impor sampah plastik tersebut, sampai mencabut persetujuan impor terhadap importir produsen kertas yang melakukan pembiaran terhadap sampah plastik yang terjadi.

Impor sampah plastik yang terjadi di Gresik Jawa Timur merupakan kegiatan yang dilarang dan diancam pidana menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf b jo. Pasal 37 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

"Penyidik harus mengusut tindakan impor sampah plastik tersebut. Selain itu Menteri Perdagangan harus mencabut persetujuan impor terhadap importir produsen kertas yang melakukan pembiaran terhadap sampah plastik yang mereka impor. Lebih lanjut lagi, permohonan persetujuan impor harus ditinjau ulang oleh Mendag dengan mengkonsultasikannya dengan Ditjen PSLB3 KLHK.,” kata Fajri.

Pada tahun 2018, data BPS menunjukkan peningkatan impor sampah plastik Indonesia sebesar 141 persen (283.152 ton), angka ini merupakan puncak tertinggi impor sampah plastik selama 10 tahun terakhir, di mana pada 2013 impor sampah plastik Indonesia sekitar 124.433 ton.

Namun peningkatan impor sampah plastik tidak dibarengi dengan angka ekspor. Malah pada 2018 angka ekspor menurun 48 persen (98.450 ton).

Angka ini menandakan ada 184.702 ton sampah yang masih ada di Indonesia, di luar beban pengelolaan sampah domestik kita di negara sendiri.

Transaksi ekspor dan impor di Indonesia memang beroperasi dari entitas industri ke industri (business-to-business), namun di lapangan ditemukan praktik dari beberapa perusahaan kembali menjual atau memberikan sampah mereka kepada pelapak yang notabene di luar sistem industri mereka.

Pada United Nation Environmental Assembly ke 4 (UNEA 4) yang baru berlangsung pekan lalu, Amerika Serikat telah menghalangi terwujudnya resolusi yang memandatkan pengurangan produksi dan konsumsi plastik dengan batas waktu yang jelas.

Mereka menyatakan bahwa produksi plastik yang semakin tinggi bukanlah masalah, yang penting adalah memperbaiki pengelolaan sampah.

“Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat Amerika sebetulnya secara akumulatif selama 1988-2016 merupakan negara kedua terbanyak yang mengekspor sampah dan reja plastik secara global,” ujar David Sutasurya dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi.

Baca juga: Perang atas sampah plastik, peroleh dukungan

Baca juga: Mengembalikan budaya pasar tradisional melalui pembatasan plastik

 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019