Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis THT menganjurkan agar segera skrining (mengetes) pendengaran anak sejak lahir untuk mendeteksi secara dini adanya tuli kongenital atau tuli bawaan sejak lahir.
 

Wakil Ketua Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) dr Hably Warganegara Sp.THT-KL di Jakarta, Jumat, menyatakan saat ini di Indonesia belum seluruhnya rumah sakit atau bidan di Indonesia melakukan skrining pendengaran anak setelah dilahirkan.

“Untuk Jakarta, seluruh RSIA sudah melakukan semua. Kalau RSUD, kurang paham sepertinya, belum semua, makanya masih dikampanyekan. Atau kita yang membawa sendiri ke rumah sakit lain untuk diperiksa,” kata Hably.

Dia menjelaskan Komnas PGPKT mengampanyekan untuk memeriksakan pendengaran anak sejak lahir guna mendeteksi bila ada kemungkinan tuli kongenital.

Hably menerangkan Komnas PGPKT sedang memperjuangkan agar skrining pendengaran anak sejak lahir itu bisa menjadi kebijakan sehingga diwajibkan untuk seluruh rumah sakit.

Ada dua langkah yang bisa dilakukan untuk mendeteksi sejak dini kemungkinan tuli bawaan, yaitu dengan mengetahui refleks anak yang disebut moro dan tes elektronik untuk mengetahui saraf pendengaran anak bekerja.

Bayi diberikan suara dari bagian belakangnya yang tidak terlihat pandangan seperti menepuk tangan, memanggil keras, atau memukul meja. Jika anak kaget, mengejapkan mata, atau mengerutkan wajah, kemungkinan besar anak mendengar.

Namun tes tersebut dinilai subjektif, sehingga diperlukan tes objektif pendengaran dengan alat Otoacoustic Emission (OAE) untuk mengetahui apakah rumah siput di dalam telinga bekerja.

Dengan mengetahui adanya kelainan pendengaran pada anak sejak dini bisa dilakukan tindakan dengan segera agar anak bisa cepat mendengar dan berbicara.

Keterlambatan deteksi anak tuli kongenital bisa berakibat tidak hanya pada anak yang tidak bisa mendengar, melainkan juga tidak dapat berbicara karena tidak mendengar apapun sejak lahir.

Beberapa faktor penyebab terjadinya tuli bawaan antara lain ibu hamil yang terinfeksi virus rubella yang bisa menyerang organ janin, adanya kelainan anatomi tubuh yang tidak sempurna, lahir prematur, berat badan rendah, dan lain-lainnya.*


Baca juga: Telinga tuli jika gunakan"earphone" berlebihan

Baca juga: Ray Sahetapy dukung anaknya jadi aktivis tuli


 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019