Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengimbau masyarakat Indonesia untuk memaknai pemilu presiden secara proporsional karena pemilu adalah proses demokrasi yang dilakukan secara periodik untuk memilih pemimpin nasional.

"Jangan sampai karena adanya perbedaan pilihan, terjadi saling hujat dan bahkan tindakan kekerasan," kata Adi Prayitno pada diskusi Empat Pilar MPR RI: "Konsolidasi Nasional untuk Pemilu Damai", di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.

Menurut Adi Prayitno, pemilu presiden adalah proses demokrasi yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memilih presiden dan wakil presiden selama periode lima tahun. Karena itu, pemilu presiden proses politik yang diselenggarakan setiap lima tahun. "Kalau perbedaan pilihan dalam pemilu sampai melakukan tindakan kekerasan dan meretakkan persatuan pada masyarakat, hal itu terlalu mahal," katanya.

Dalam pandangan Adi Prayotno, demokrasi di Indonesia sudah cukup maju, sehingga masyarakat diimbau dapat menyikapi pemilu presiden secara proporsional dan bijaksana. Adi juga mengingatkan masyarakat, bahwa demokrasi di Indonesia sudah memberikan berkah yang banyak bagi masyarakat. "Kalau masyarakat sampai terpancing tindak kekerasan, maka situasi masyarakat bisa tidak kondusif. Hal ini akan merugikan bangsa Indonesia itu sendiri," katanya.

Adi juga menyoroti, kemajuan demokrasi di Indonesia dapat memunculkan masyarakat awam menjadi presiden, misalnya Joko Widodo. Karena itu, Adi mengingatkan masyarakat untuk merawat kondisi masyarakat yang aman, damai, dan kondusif.

Adi juga melihat, pemilu legislatif dan pemilu presiden setelah era reformasi, menuntut calon anggota legislatif (caleg) maupun capres-cawapres untuk bekerja sungguh-sungguh dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Anggota MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, mengatakan, pemilu presiden 2019 sepatutnya mengutamakan keadaban publik sehingga dapat berlangsung secara damai, demokratis, dan kondusif.

"Situasi menjelang pemilu presiden yang semakin memanas, dikhawatirkan dapat membuat persatuan bangsa menjadi retak. Jangan sampai karena pemilu presiden yang diselenggarakan setiap lima tahun, tapi persatuan bangsa menjadi retak," kata Ace Hasan.

Menurut Ace Hasan, pemilu 2019 adalah pemilu yang pertama kali diselenggarakan secara serentak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Sebelumnya, pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan secara terpisah. "Pemilu yang diselenggarakan secara serentak ini menjadi tantangan baru, baik bagi penyelenggara maupun peserta pemilu," katanya.

Politisi Partai Golkar ini berharap, melalui pemilu presiden yang diselenggarakan mengutamakan keadaban publik dapat menghasilkan pemimpin nasional yang terbaik dan sesuai harapan rakyat.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ini menaruh harapan, masyarakat dapat menyikapi situasi yang memanas menjelang pemilu dengan sikap dewasa dan bijaksana.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan masyarakat Indonesia, tidak perlu membesarkan kekhawatiran dan ketakutan terhadap temperatur politik yang memanas menjelang pemilu presiden 2019.

"Indonesia memiliki pengalaman panjang menyelenggarakan pemilu dan setiap menjelang pemilu situasinya selalu panas. Namun, setelah pemilu selesai dan ada pemimpin yang terpilih, maka masyarakat kembali damai lagi," kata Hidayat Nur Wahid.

Menurut dia, setiap selesai pemilu masyarakat kembali pada kehidupan bermasyarakat secara damai. Karena itu, menghadapi pemilu presiden 2019, kata dia, sebagian masyarakat Indonesia tidak terlalu membesar-besarkan kekhawatiran dan ketakutan.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019